Madiun (pilar.id) – Suatu hari, di tahun 1998, Surat Wiyoto, petani di Desa Tawangrejo, Kecamatan Gemarang, Kabupaten Madiun, pergi ke Hutan Sampung untuk mencari rumput. Tak disangka, di tempat itu ia menemukan empat butir telur merak hijau atau Pavo muticus.
Telur-telur tersebut kemudian di letakkan bersama ayam-ayam peliharaannya di kandang berukuran 4×4,5 meter. Setengah bulan berjalan, telur-telur itu menetas. Ada dua ekor merak betina dan dua ekor jantan.
Dari situ Wiyoto berpikir untuk membuat tempat memelihara merak hijau. Ia tidak tahu, membuat penangkaran satwa langka seperti merak hijau memerlukan izin. Alhasil penangkarannya pun dianggap ilegal.
Pada 2010, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur Wilayah 1 Madiun menyegel tempat penangkaran miliknya. Saat itulah Surat Wiyoto mulai mengajukan izin dan akhirnya mendapat ijin pembuatan rumah penangkaran merak hijau secara legal.
Penangkaran merak hijau milik Wiyoto sejatinya dapat memenuhi stok kebutuhan bulu merak hijau untuk kebutuhan pembuatan Dadhak Merak Reyog Ponorogo. Karena pada saat tertentu bulu merak hijau akan rontok saat mereka masuk di masa kawin. Atau jika terpaksa, bulu itu bisa dicabut dan dipotong tanpa menyakiti merak hijau.
Dadhak merak adalah topeng raksasa yang digunakan dalam kesenian tradisional ini. Bentuknya besar dan lebar, salah satu bahan utamanya adalah bulu merak hijau.
Sebelumnya, untuk memenuhi kebutuhan bulu merak, seniman reog ada yang mengimpor bulu merak hijau secara ilegal dari India. Sehingga kehadiran merak hijau Surat Wiyoto dianggap mampu menjawab kebutuhan pembuatan dadhak merak.
Artinya, sekali merengkuh dayung, Wiyoto menjawab dua kebutuhan sekaligus. Pelestarian merak hijau dan Dadhak Merak Reyog Ponorogo. (ful/hdl)