Jakarta (pilar.id) – Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD berencana untuk mengunjungi sejumlah negara di Eropa guna menemui para eksil korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu.
Eksil adalah sebuah kondisi di mana seseorang dipaksa atau memilih untuk tinggal di luar negeri atau di tempat yang terpisah dari negara asalnya. Biasanya, eksil terjadi karena alasan politik, seperti penganiayaan, pelanggaran hak asasi manusia, atau ancaman terhadap kehidupan dan kebebasan individu tersebut di negara asalnya.
Eksil juga dapat menjadi pilihan individu untuk mencari kehidupan yang lebih aman atau berbagai alasan pribadi lainnya.
Kunjungan ini bertujuan untuk menjemput mereka kembali ke Tanah Air. Dalam rapat kerja dengan Komite I DPD RI di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta pada hari Selasa (4/7/2023), Mahfud menyatakan niatnya untuk mengunjungi beberapa negara di Eropa dan memastikan hak warga negara para eksil tersebut untuk pulang ke Indonesia.
Setelah pelaksanaan kick-off penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial di Aceh pada tanggal 27 Juni 2023, Mahfud akan mengatur jadwal kunjungannya ke negara-negara di Eropa tersebut.
Mahfud menjelaskan bahwa terdapat sekitar 12 negara di Eropa dengan warga negara Indonesia yang masih berstatus eksil, seperti mahasiswa ikatan dinas (eks ‘Mahid’). Rencananya, jadwal kunjungan akan dijadwalkan setelah tahap kick-off.
Menurut Mahfud, tindakan negara diperlukan demi kemanusiaan, mengingat para eksil tersebut telah berada di luar negeri selama puluhan tahun dan tidak dapat kembali ke Tanah Air sejak peristiwa tahun 1965.
“Tidak boleh pulang karena terjadi peristiwa ’65, sudah 58 tahun, bayangkan, dari usia 23 tahun hingga usia 81-82 sekarang. Banyak yang sudah meninggal di luar negeri. Kita harus turun tangan demi kemanusiaan,” ungkapnya.
Mahfud juga menceritakan kerinduan para eksil untuk kembali ke Tanah Air yang tidak terwujudkan sampai akhir hayat mereka.
“Ikut ada beberapa orang yang berkata, ‘Pak, saya sudah 58 tahun tidak bisa (pulang). Saya ingin pulang ke Indonesia, ingin mati di Indonesia.’ Kita harus menjemput mereka karena mereka adalah korban, bukan pelaku,” ucapnya.
Namun, Mahfud menyebutkan bahwa sebagian eksil lainnya memilih untuk tidak kembali ke Tanah Air karena mereka telah membangun kehidupan yang mapan di negara tempat mereka tinggal.
“Mereka sudah 58 tahun di sana, harta mereka sudah habis di sini, keluarganya sudah habis, dan mereka merasa takut diejek oleh masyarakat. Mereka sudah sukses di sana,” jelasnya.
Meskipun demikian, Mahfud menegaskan bahwa negara tetap berhak mengembalikan hak-hak para eksil korban pelanggaran HAM berat.
“Mereka hanya menginginkan kebanggaan terhadap negeri ini, rasa cinta kami terhadap Tanah Air ini, dan ingin merasa dikembalikan oleh negara. Apakah bapak tidak setuju? Apakah
ini dianggap tidak ada hukumnya? Apakah kita akan diam saja melihat itu? Padahal negara telah memerintahkan penyelesaiannya melalui jalur pengadilan dan non-pengadilan,” tegasnya.
Sebelumnya, pada tanggal 23 Juni 2023, Menko Polhukam Mahfud MD mengungkapkan bahwa data sementara menunjukkan adanya sekitar 136 eksil korban pelanggaran HAM berat yang berada di luar negeri. Mayoritas dari mereka adalah eksil korban pelanggaran HAM pada Peristiwa 1965-1966, sementara dua lainnya terkait dengan kasus Kerusuhan Mei 1998 dan Simpang KKA Aceh.
Dari total 136 orang tersebut, 67 eksil korban Peristiwa 65 berada di Belanda, satu orang dan 37 keturunannya berada di Rusia, 14 orang berada di Ceko, 8 orang di Swedia, dua orang eksil dan satu keturunannya berada di Slovenia, satu orang eksil di Albania, satu orang di Bulgaria, satu orang di Suriah, satu orang di Inggris, satu orang di Jerman, dan dua eksil, masing-masing korban Kerusuhan Mei 1998 dan korban Peristiwa Simpang KKA Aceh, berada di Malaysia. (usm/hdl)