Yogyakarta (pilar.id) – Dalam catatan sejarah, masjid selalu memiliki peran penting dalam perjalanan dakwah umat Islam. Masjid tak hanya dijadikan sebagai tempat melaksanakan sholat. Namun, Ia juga berfungsi sebagai pusat pendidikan agama dan tempat berdialog masyarakat dalam menyelesaikan ragam persoalan sosial.
Alasan tersebutlah yang juga turut melatarbelakangi berdirinya Masjid Pathok Negoro Plosokuning. Masjid ini merupakan satu dari empat masjid yang dibangun pada masa awal Kesultanan Yogyakarta, sebagai batas wilayah pemerintahan.
Secara makna, arti kata Pathok berarti batas atau tanda, sedang Negoro dapat dimaknai negara, pemerintahan atau sebuah kerajaan.
Kamaludin, takmir Masjid Pathok Negoro Plosokuning, menganggap kata Pathok Negoro tak habis dimaknai sebagai pemisah antar tempat begitu saja. Baginya, Pathok Negoro juga dapat dimaknai sebagai benteng spiritual bagi masyarakat kesultanan Yogyakarta dalam menjalankan perintah beragama.
Dulunya, masjid ini berada di pinggiran utara wilayah Kuthanegara yang berbatasan langsung dengan Negaragung. Kuthanegara merujuk pada sebuah daerah pusat pemerintahan, sedang Negaragung merupakan daerah inti kerajaan yang berperan sebagai penyangga pusat pemerintahan.
Pada zaman penjajahan, empat masjid ini berfungsi sebagai benteng pertahanan kesultanan Yogyakarta dari serangan dari pihak lawan.
Masjid Pathok Negoro Plosokuning didirikan oleh Kyai Mursodo, anak dari Kyai Nur Iman yang juga menjadi pendiri Masjid Pathok Negoro Mlangi. Masjid ini dibangun di desa Minomartani Ngaglik, Sleman, DI Yogyakarta. Diantara empat Masjid Pathok Negoro yang lain, Masjid Pathok Negoro Plosokuning termasuk yang terjaga keaslian bangunannya. Hal tersebut dapat dilihat dari pembuatan kolam yang mengelilingi bangunan masjid.
Oleh Kamal, pembangunan kolam di sekitar masjid berfungsi sebagai tempat membasuh kaki dan membersihkan diri sebelum masuk ke dalam masjid. Kondisi tersebut sebagai bentuk penyesuaian pada budaya masyarakat saat itu yang jarang mengenakan alas kaki di setiap melakukan kegiatan sehari-hari.
“Masuk masjid dulu semua cuci kaki, waktu saya kecil dulu masih gitu,” tambah Kamal.
Selain menjadi tempat beribadah, Masjid Pathok Negoro Plosokuning juga masih dijadikan sebagai tempat pelestarian tradisi-tradisi Islam peninggalan masa silam. Beberapa ritual yang rutin diselenggarakan yakni saparan, ruwahan, dan nyadran.
Menurut Kamal usia bangunan masjid sudah mencapai 250 tahun. Dalam kurun waktu tersebut ia masih mengingat terjadi lima kali upaya konservasi yang dilakukan guna melestarikan bangunan tersebut.
Kini waktu berlalu, Masjid Pathok Negoro Plosokuning tetap berdiri megah dan dikunjungi banyak jamaah. Perannya jelas, menjadi tempat peribadatan dan menjaga upaya dialog di antara masyarakat tetap terjaga. (fir/hdl)