Banyumas (pilar.id) – Selain berfungsi sebagai kawasan wisata religi dan budaya di Banyumas, Masjid Saka Tunggal Banyumas masih berfungsi sebagai tempat ibadah dan pusat dakwah Islam bagi masyarakat sekitar.
Data pemerintah setempat menyebutkan jika masjid yang berdiri di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon ini merupakan peninggalan Kyai Mustolih, ulama besar di Banyumas. Tahun 1288,
Kyai Mustolih mendirikan Masjid Saka Tungga agar bisa digunakan sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama Islam. Pencatatan tahun berdiri masjid tertulis pada saka guru atau tiang utama masjid.
Pilar ini sekaligus menjadi saka tunggal, atau satu tiang penyangga utama. Inilah yang kemudian menjadi identitas masjid, karena hanya memiliki satu tiang penyangga utama bangunan. Meski demikian, masjid ini tetap berdiri kokoh hingga kini.
Sejarah berdirinya masjid ini masih terus dipelajari. Jika masjid ini berdiri pada tahun 1288, berarti Masjid Saka Tunggal Banyumas berdiri beberapa tahun sebelum Kerajaan Majapahit berdiri. Seperti ditulis di banyak literasi sejarah, kerajaan Hindu-Buddha terbesar di Nusantara yang didirikan oleh Raden Wijaya pada tahun 1293 Masehi.
Namun, apakah angka 1288 Masehi itu benar-benar menunjukkan tahun pembangunan masjid? Ataukah ada makna lain di balik angka tersebut? Sayangnya, tidak ada sumber sejarah yang pasti yang bisa menjawab pertanyaan ini. Hanya ada beberapa versi yang berbeda-beda mengenai sejarah masjid ini.
Versi pertama menyebutkan bahwa masjid ini memang dibangun pada tahun 1288 Masehi oleh Kiai Mustolih, seorang ulama yang berdakwah di Desa Cikakak, tempat masjid ini berada.
Kiai Mustolih ingin mendirikan pusat dakwah Islam di desa tersebut, karena masyarakatnya masih banyak yang melakukan perbuatan menyimpang dari ajaran Islam. Masjid ini kemudian digunakan sebagai pusat dakwahnya. Versi ini didukung oleh beberapa kitab-kitab yang ditinggalkan oleh Kiai Mustolih, namun sayangnya kitab-kitab tersebut telah hilang bertahun-tahun yang lalu.
Versi kedua menyebutkan bahwa tahun 1288 Masehi bukanlah tahun pembangunan masjid, melainkan tahun pembangunan sebuah bangunan tempat peribadatan umat Hindu.
Bangunan itu kemudian beralih fungsi menjadi masjid pada tahun 1522 Masehi, ketika Islam masuk ke Desa Cikakak dibawa oleh Kiai Mustolih. Versi ini didasarkan pada arsitektur masjid yang masih memiliki unsur-unsur kejawen, seperti atap sirap kayu, anyaman bambu, dan ukiran bercorak flora dan surya mandala.
Versi ketiga menyebutkan bahwa angka 1288 Masehi bukanlah tahun masehi, melainkan tahun hijriyah. Jika demikian, maka masjid ini dibangun pada tahun 1868 atau 1869 Masehi. Versi ini didasarkan pada perhitungan kalender Islam yang berbeda dengan kalender masehi.
Dari ketiga versi tersebut, mana yang paling benar? Sulit untuk menentukan jawabannya tanpa adanya bukti-bukti sejarah yang kuat dan valid. Yang pasti, Masjid Saka Tunggal Banyumas merupakan salah satu masjid tertua di Jawa yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi. Masjid ini juga menjadi saksi perkembangan Islam di tanah Jawa sejak zaman dahulu hingga sekarang.
Meski telah mengalami beberapa renovasi dan penambahan fasilitas untuk menjaga kelestarian dan kenyamanan masjid. Namun, bentuk asli masjid tetap dipertahankan.
Dengan demikian, keberadaan Masjid Saka Tunggal tetap berdiri dalam bentuk aslinya. Sekaligus sebagai simbol sejarah dan kebudayaan Islam di wilayah Banyumas.
Masyarakat sekitar sangat menghormati dan menjaga masjid ini sebagai warisan leluhur mereka. Masjid ini juga menjadi tempat berkumpul dan bersilaturahmi bagi warga Desa Cikakak dan sekitarnya.
Menanggapi berdirinya masjid bersejarah ini, pemerintah setempat terus berupaya menjaga keberadaan Masjid Saka Tunggal. Di antaranya dengan pemberian bantuan dana untuk renovasi dan pemeliharaan masjid, menetapkan masjid sebagai cagar budaya dan situs bersejarah, kemudian mendorong pengembangan potensi wisata religi dan budaya di sekitar masjid.
Selain itu pemerintah juga aktif mendorong sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang nilai-nilai sejarah dan budaya yang terkandung dalam masjid, dengan melibatkan tokoh-tokoh agama, adat, dan masyarakat dalam pengelolaan dan pengawasan masjid. (hdl)