Surabaya (pilar.id) – Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur mengungkapkan bahwa puncak musim kekeringan di wilayah Jawa Timur diharapkan akan terjadi pada rentang waktu Agustus hingga September 2023. Banyak daerah di belasan kabupaten dan kota di Jawa Timur telah mengalami dampak kekeringan yang signifikan.
Sumber di BPBD mengacu pada prakiraan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), yang menyatakan bahwa puncak masa kekeringan diharapkan terjadi mulai akhir Juli hingga awal Agustus. Data lapangan hingga awal Agustus mengindikasikan bahwa kebutuhan pasokan air akan terus berlanjut hingga bulan September.
Tak kurang dari 15 kabupaten dan kota di Jawa Timur telah mengambil langkah-langkah proaktif dengan meminta bantuan pasokan air melalui proses dropping. Beberapa daerah yang terdampak meliputi Jember, Lumajang, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Mojokerto, dan Kota Batu.
Untuk mengatasi situasi ini, sejumlah wilayah tersebut telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Tanggap Darurat atau SK Siaga Darurat. Di samping empat wilayah yang disebutkan sebelumnya, terdapat sembilan wilayah lain yang juga telah menerapkan status Siaga Darurat. Salah satunya adalah Kota Batu.
Kekeringan di Magetan
Sementara itu, BPBD Magetan telah melakukan pemetaan wilayah yang berpotensi mengalami dampak kekeringan pada tahun 2023 ini. Eka Wahyudi, Kepala Seksi Kedaruratan dan Logistik BPBD Magetan, mengungkapkan bahwa ada dua desa di Kecamatan Parang yang diidentifikasi sebagai daerah rawan kekeringan.
Desa Sayutan dan Desa Trosono di Kecamatan Parang menjadi perhatian utama. Dampaknya dirasakan oleh 119 dan 200 kepala keluarga (KK), atau sekitar 575 dan 800 jiwa, masing-masing. Eka menjelaskan, “Kami telah melaporkan data potensi kekeringan ini kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Namun, hingga saat ini, belum ada kejadian kekeringan yang signifikan pada tahun 2023 ini.”
BPBD Magetan telah berkoordinasi dengan pemerintah desa Sayutan dan Trosono. Langkah-langkah telah diambil, termasuk pembuatan sumur swadaya dan program pamsimas, guna memenuhi kebutuhan air bersih bagi penduduk setempat. Eka juga menambahkan, “Kami juga mendapat informasi dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tentang sumur dalam yang bisa dimanfaatkan dalam situasi krisis air bersih di wilayah Desa Trosono.”
Meski demikian, risiko kekeringan tetap ada. Jika sumber mata air yang digunakan untuk pasokan air bersih kepada masyarakat lokal menyusut atau bahkan kering, hal ini dapat memicu krisis air bersih di wilayah tersebut.
Antisipasi dan Persiapan
“Efek kekurangan air bersih sudah terasa di sekitar Magetan, seperti Ponorogo dan Ngawi yang telah mengalami kekurangan pasokan air dan melaksanakan dropping air. Dalam waktu dekat, BPBD Magetan akan melakukan pemantauan di desa-desa yang berpotensi terdampak kekeringan sebagai langkah antisipasi. Kami juga telah menyiapkan sumber daya manusia, infrastruktur, dan sarana pendukung yang diperlukan jika diperlukan,” tambahnya.
BPBD Magetan saat ini telah menginventarisir persediaan yang ada, termasuk 15 tandon berkapasitas 2.300 liter, 10 tandon berkapasitas 1.200 liter, 13 tandon berkapasitas 2.000 liter, 150 jerigen, dan lima alat konstruksi (alkon). Selain itu, ada satu unit truk tangki dengan kapasitas 6.000 liter yang dimiliki oleh BPBD Magetan. Eka menegaskan, “Tambahan truk tangki juga telah diberikan oleh Dinas Sosial (Dinsos), Palang Merah Indonesia (PMI), dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Lawu Tirta.”
Situasi kekeringan yang melanda beberapa wilayah di Jawa Timur menuntut kerja sama antara pemerintah daerah, instansi terkait, dan masyarakat untuk bersama-sama mengatasi dampak yang mungkin terjadi akibat kekurangan pasokan air bersih. (fat/hdl)