Surabaya (pilar.id) – Pemerintah terus melakukan inovasi terkait penanganan sampah di Indonesia. Salah satu langkah inovatif yang dilakukan adalah dengan mengadopsi penggunaan teknologi Refused Derived Fuel (RDF).
Metode penanganan sampah menggunakan RDF ini adalah dengan mengolah sampah melalui proses homogenisasi atau penyeragaman ukuran partikel untuk mempertahankan kestabilan.
Produk dari pengolahan sampah menggunakan teknologi RDF ini adalah melalui pembentukan briket dan bubuk plastik. Nantinya, produk dari RDF tersebut akan digunakan kembali untuk bahan campuran seperti semen maupaun aspal.
Namun, efektivitas dari penggunaan teknologi RDF tersebut, dipertanyakan oleh Pendiri Komunitas Nol Sampah, Hermawan Some. Hal tersebut, disampaikan oleh Hermawan di acara Media Gathering bersama Ecoton.
Menurutnya, penggunaan teknologi RDF untuk menangani sampah di Indonesia tidak solutif dan tidak efektiv.
Sebab, dalam prosesnya, penanganan sampah menggunakan metode RDF juga tidak lepas dari dampak berbahaya lanjutan.
“Pada proses RDF pun, sampah akan dicuci dan air cucian yang sudah tercemar, akan dibuang di sungai, air sungai akan tercemar, sama saja masih tetap mencemari, dan berbahaya,” jelas Hermawan di Media Gathering ECOTON di Coffe Toffe, Surabaya, Selasa (7/2/2023).
Selain itu, ia menerangkan dalam pemanfaatan RDF yang digalangkan pemerintah, dengan menjadikan hasil RDF sebagai pengganti bahan semen, listrik, bahkan batu bara dan pendukung energi lainnya, menurutnya akan menimbulkan masalah baru
“Contohnya saat jadi bahan semen, plastik bentuk briket atau serbuk hasil RDF akan dibakar kembali, dan itu bisa memilki dampak saat dimanfaatkan, entah berpengaruh dari kualitas semen, atau lainnya,” ucapnya.
Selain itu, dalam paparannya yang berdasarkan permen lingkungan hidup dan kehutanan nomor P-70/Menhlk/Setjen/Kum-1/8/2016, tentang Baku Mutu Emisi Usaha atau Kegiatan Pengolahan Sampah Secara Termal, jika dalam RDF tidak boleh menghasilkan limbah B3, kaca, finel, PVC dan limbah sisa lainnya.
“Tapi kenyataannya air sisa cuci plastik dibuang ke sungai, saja sudah mengandung limbah B3 dan itu sangat berbahaya, karena mengandung kotoran dari sampah itu sendiri, dan bahan-bahan kimia penyusun plastik,” jabarnya.
Tak hanya itu, berdasar cerita beberapa wartawan yang hadir dalam kegiatan tersebut, beberapa pabrik tahu yang mereka kunjungi, hingga saat ini masih menggunakan plastik saat memasak tahu.
“Pemerintah setempat menawarkan bantuan, berupa bio gas, serta saat di balai desa ada penawaran kettle, namun itu hanya sekedar penawaran, tidak ada realisasi yang nyata,” ucapnya.
Maka dari itu, melihat kenyataan yang tak sesuai harapan dari solusi RDF yang diajukan pemerintah, Hermawan Some menyebut, jika solusi semu yang tak solutif tersebut, tak akan memutus rantai pencemaran
“Kita tidak bisa dengan pengendalian, tetapi kita bisa dengan membiasakan hidup 3R, Reuse, Reduce dan Recycle, dengan mulai memilah sampah, mengolah sampah organik mandiri dan terapkan zero waste dalam keseharian,” tuturnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Clara, perwakilan dari ECOTON, jika dampak dari pencemaran lingkungan saat ini sudah nyata, dengan temuannya berupa ikan di Kali Brantas Surabaya, yang memiliki kelamin ganda.
“Ada temuan 44 persen ikan dengan kelamin betina, namun 30 persen ikan kelamin betina tersebut, didalamnya merupakan organ jantan,” ungkapnya.
Sebab itu, dirinya pun memberikan rekomendasi untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dengan menerapkan zero waste.
“Saat ini tak hanya kresek yang ditekan penggunanya, tapi alat makan sekali pakai, dan kesehatan, juga harus ditekan,” tutupnya. (jel/fat)