Surabaya (pilar.id) – Dunia internet menawakan banyak kemudahan. Termasuk media sosial, yang memudahkan kita untuk berinteraksi satu sama lain, bahkan orang-orang di masa lalu.
Di luar kemudahan dan keuntungan, media sosial juga menyimpan ancaman. Misal, vandalisme digital. Praktek vandalisme di dunai digital memiliki beberapa macam bentuk. Mulai dari penyebaran kebencian, kekerasan secara verbal melalui teks, pelabelan, hingga scam.
Menurut Prof Rachmah Ida Dra MCom PhD, pakar komunikasi digital dari Universitas Airlangga Surabaya, media sosial membawa dampak yang luar biasa pada kultur komunikasi. Adanya kesempatan menyamarkan wujud dan identitas, membuka ruang sebagian orang untuk mengolok-olok seseorang lainnya.
“Perubahan kultur komunikasi tersebut akhirnya menggiring orang beramai-ramai melakukan ujaran kebencian. Padahal semua itu belum tentu benar. Jadi, judge by the people ya,” kata Prof Ida.
Vandalisme digital dalam bentuk ujaran kebencian kerap membuat sebagian masyarakat memberikan julukan tersendiri bagi seseorang yang menjadi target kebencian. Pelabelan semacam ini, lanjut dia, merupakan pelanggaran dari budaya komunikasi.
“Pelabelan atau memberikan julukan itu tidak boleh. Itu merupakan bentuk dari diskriminasi. Masyarakat sekarang ini sering kali menjadi polisi, hakim yang lebih kejam dari lembaga hukum,” tukasnya.
Dikatakan pula, vandalisme digital juga dapat berpengaruh pada psikologis orang yang dilabeli oleh masyarakat tersebut. Hal tersebut dapat menjadi trauma panjang bagi korban pelabelan. Bahkan dapat menyebabkan anxiety attack yang sulit disembuhkan sendiri.
“Hal itu tidak dipikirkan oleh masyarakat. Jika julukan-julukan kepada orang yang bersangkutan itu dianggap biasa secara social education itu tidak baik. Jika terus-menerus viral dan netizen terus melakukan itu, itu tidak baik,” tukasnya.
Prof Ida kemudian menyebutkan, masyarakat perlu diberikan diberikan literasi terkait dengan sehat bermedia sosial. Hal itu bertujuan untuk menghindari malfungsi dari media sosial, sehingga media sosial nantinya lebih banyak digunakan untuk membangun networking daripada melempar ujaran kebencian.
“Perlu ada pemasyarakatan UU ITE juga dari pemerintah. Sehat bermedia sosial seperti bagaimana kita menggunakan medsos secara positif, menghindari cancel culture,” jelasnya.
Prof Ida berpesan, sebagai pengguna media sosial masyarakat perlu memilih dan memilah konten. Buang informasi yang menjadikan pengguna tidak sehat bermedia sosial.
“Bijak bermedia sosial itu penting. Apalagi bagi generasi muda. Pengguna sehat tidak ikut ikutan membagi informasi yang tidak valid,” imbuhnya. (feb/hdl)