Jakarta (pilar.id) – Peneliti Pusat Kajian Keamanan Nasional (Puskamnas) Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (UBJ) Indah Pangestu Amaritasari mengatakan, Khilafatul Muslimin sudah ada sejak 1997 dan tumbuh subur pascareformasi.
Ada dua paradigma terkait keberadaan Khilafatul Muslimin di Indonesia. Pertama, pendapat yang menyatakan tidak berbahaya karena merupakan pecahan dari Negara Islam Indonesia (NII). Mereka enggan melakukan kekerasan untuk mendapatkan pengikut.
“Dia menggunakan nonkekerasan, cara-cara politik,” kata Indah, di Jakarta, Senin (15/8/2022).
Pendapat kedua berpandangan, Khilafatul Muslimin sangat berbahaya. Karena, organisasi tersebut membawa ideologi NII dan menggusur nilai-nilai Pancasila.
“Saya melihatnya agak berbeda, dia bisa berbahaya jika lingkungan menumbuhsuburkan. Artinya jika nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, gender tidak digunakan dengan baik, itu bisa dieksploitasi sama kelompok yang mengidolakan kekerasan,” papar Indah.
Sebagai seorang perempuan, Indah menekankan pendekatan gender untuk mencegah radikalisasi. Sebab, tak sedikit pengikut kelompok-kelompok radikal tersebut berjenis kelamin perempuan. Sehingga, kebutuhan masing-masing pelaku juga perlu diakomodir dengan baik antara laki-laki dan perempuan.
“Jangan dipukul rata antara laki-laki dan perempuan. Karena perempuan masuk ke dalam jaringan terorisme beda lho dengan laki-laki,” kata Indah.
Menurut data, laki-laki masuk ke jaringan terorisme disebabkan oleh keinginan untuk diangggap ada. Sementara, perempuan pada beberapa kasus didapati pernah mendapatkan kekerasan seksual.
“Rasa malunya itu dibayar dengan masuk ke jaringan terorisme dan dieksploitasi,” kata tandas.
Masalah-masalah traumatik seperti itu, menurut Indah harus mendapatkan penanganan khusus terlebih dahulu. Sebab, jika hanya dengan memberikan paket sembako atau bantuan ekonomi dinilai bukan solusi yang tepat.
“Jadi dilihat dulu latar belakangnya, kenapa dia terlibat,” kata Indah.
Selain itu, ia mengingatkan penggunaan media sosial di kalangan Gen Z harus diwaspadai, jangan sampai justru menjadi perantara terjadinya radikalisasi. Sebab, saat ini Gen Z lebih suka mencari konten-konten agama secara instan di media sosial.
“Dan ternyata banyak konten agama yang disalahgunakan yang mengeksploitir isu-isu ekstrimis untuk mendapatkan ruang di surga,” tandas Indah. (ach/fat)