Jakarta (pilar.id) – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak uji materi terkait penggunaan ganja medis. Alasan MK menolak permohonan yang diajukan Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Naflah Murhayanti itu karena ganja merupakan jenis narkotika golongan I, yang belum terbukti ilmiah dapat digunakan dalam layanan kesehatan.
Menanggapi hal itu, anggota Komisi III Arsul Sani berpendapat, dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan open legal policy. Artinya, pasal tersebut dapat diubah dengan merelaksasi aturan.
“Saya bicara sebagai fraksi PPP memang ingin merelaksasi itu. Tetapi harus dengan aturan yang ketat,” kata Arsul, di DPR, Jakarta, Selasa (20/7/2022).
Arsul menegaskan, pihaknya tidak sedang membicarakan legalisasi ganja untuk sekadar rekreasi atau kesenangan semata. Namun, relaksasi aturan tersebut nantinya hanya untuk tujuan medis dan diatur secara ketat.
DPR berjanji akan membahas legalisasi ganja medis usai masa reses. Namun, sebelumnya akan didahului dengan rapat dengar pendapat bersama para ahli di bidang kedokteran dan farmasi. “Setelah 17 Agustus itu kami akan memulai pembahasan itu,” kata Arsul.
Arsul kembali menegaskan, pembahasan ulang mengenai aturan penggunaan ganja tersebut bukan dalam rangka legalisasi barang haram tersebut. Namun lebih kepada relaksasi aturan penggunaan ganja sebagai bahan campuran untuk membuat obat-obatan.
“Kalau ke depan memang ada obat yang ada campuran ganjanya, dan itu bisa dipergunakan untuk mengobati penyakit, maka itu bisa dipergunakan. Cuma itu saja,” kata dia. (Akh/din)