Jakarta (pilar.id) – Pembahasan RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tengah dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek). Bahkan, Kemdikbudristek memiliki target bahwa RUU ini akan masuk Prolegnas (program legislasi nasional) prioritas pada Mei 2022.
Kepala Bidang Advokasi Guru dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri mengatakan, P2G menilai bahwa RUU Sisdiknas ini sangat lemah dari aspek formal prosedural dan aspek isi atau materi.
Secara prosedural pembahasan melalui uji publiknya tidak dialogis, tidak partisipatif, dan minus transparansi. Kebijakan pendidikan harusnya melingkupi semua yang berkepentingan dalam proses itu. “Pendidikan menjadi sesuatu yang dipertaruhkan oleh banyak pihak, bukan hanya pemerintah saja,” kata Iman, Senin (14/3/2022).
Pada masa Orde Baru, pendidikan telah terhempas dari masyarakat dan menjadi milik penguasa. Masyarakat menerima apa saja yang direkayasa pemerintah melalui birokrasi pendidikan. Di masa demokrasi kini, sikap masyarakat yang pasif dan kekuasaan pemerintah yang absolut terhadap pendidikan harus dihilangkan (HAR Tilaar, 2002).
Organisasi guru, dosen, LPTK adalah diantara stakeholder terpenting yang harus terlibat intensif dalam kebijakan pendidikan. Produk UU Sisdiknas yang baik dan bermutu, hendaknya dibangun atas dialog dengan semua stakeholder pendidikan secara partisipatif, jujur, dan terbuka.
Sedangkan dalam aspek isi atau materi, setelah mempelajarinya P2G memberikan 10 kritik awal yang konstruktif untuk perbaikan kualitas pendidikan ke depan. Pertama, P2G menilai banyak pasal yang tertukar antara konsep hak warga negara dengan kewajiban negara.
Kedua, soal Standar Nasional Pendidikan (SNP). Dasar argumentasi perubahan 8 SNP (berlaku sampai sekarang) menjadi 3 SNP perlu dipertanyakan. Landasan ilmiah perubahan menjadi 3 SNP dalam Naskah Akademik (Nasmik) RUU Sisdiknas sangat lemah karena cuma merujuk satu riset sangat terbatas oleh satu lembaga saja, penelitian terbatas di 3 daerah: kota Bukittinggi, Way Kanan, dan Kebumen (halaman 160-163).
“Padahal Indonesia memiliki 514 kota/kabupaten terbentang luas dari Papua sampai Aceh,” kata dia.
Ketiga, P2G ingin uraian Nasmik RUU Sisdiknas sebagai landasan akademis dibuat lebih ilmiah, komprehensif, dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemudian istilah kerangka kurikulum yang dikutip berasal dari paper panelis di Afrika tahun 2007. Jelas tidak kontekstual dan ketinggalan zaman.
Keempat, yang cukup mengganjal dalam Pasal 105, ada ketentuan Lembaga Mandiri ikut melakukan evaluasi terhadap siswa. Mengapa ada evaluasi siswa oleh Lembaga Mandiri? Padahal semestinya evaluasi siswa cukup dilakukan oleh guru (sekolah) dan Kemdikbudristek sepanjang formulanya tidak seperti Ujian Nasional (UN) dulu yang merugikan siswa termasuk guru.
Kelima, Agus mengutarakan, P2G meminta RUU Sisdiknas menambahkan Bab dan Pasal khusus membahas Disain Pendidikan di Masa Katastrofe (catastrophe). Belajar dari pengalaman pandemi Covid-19 yang sudah 2 tahun berlangung, kita harus mampu menyiapkan dunia pendidikan tetap resilience dalam segala kondisi kedaruratan bahkan bencana besar.
Keenam, RUU Sisdiknas akan melahirkan “Kastanisasi Sekolah”. RUU ini, memperkenalkan entitas baru dalam persekolahan (Pasal 18 dan 21) bernama persekolahan mandiri.
“Kami khawatir kebijakan pendidikan Mas Nadiem Makarim melalui RUU Sisdiknas ini akan memuluskan kembali lahirnya kastanisasi pendidikan, reinkarnasi RSBI dengan wajah baru. Alih-alih berpihak pada anak, yang timbul justru praktik buruk yang memperlebar gap anak-anak keluarga kaya dan miskin,” ujarnya.
Ketujuh, hilangnya Kualifikasi Akademik Guru. Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, guru harus memiliki kualifikasi akademik minimal D4 atau S1. Namun dalam RUU Sisdiknas, kualifikasi tersebut tidak ada atau dihapus.
Artinya, bagaimana kita bisa menjamin kualitas guru dan meningkatkannya jika mereka secara akademik tidak berkualifikasi? Kualifikasi akademik sangat penting dalam sebuah profesi apalagi menyangkut pendidikan sebagai hak dasar anak.
Untuk menjadi profesi dokter misalnya, minimal S-1 Sarjana Kedokteran, menjadi profesi Advokat minimal S-1 Sarjana Hukum, begitu pula profesi lain. Ditambah kemudian pendidikan profesi.
Kedelapan, P2G tetap mendorong RUU Sisdiknas mengatur upah minimum guru seperti halnya manajemen upah buruh melalui skema UMP/UMK. Selama ini kesejahteraan guru hanya janji belaka saat kampanye.
Janji Nadiem Makarim angkat satu juta guru honorer terbukti gagal total. Sebab rekrutmen guru PPPK hanya berhasil mencakup 293 ribu, tak sampai 30 persen. Artinya peluang para guru mengajar dengan upah sangat tidak layak akan terus ada, akibat ketidakmampuan Pemerintah dan Pemda memenuhi kebutuhan guru secara nasional.
Kesembilan, soal karir guru. Pasal 124 hanya satu kalimat membahas jenjang karir guru, yaitu guru bisa jadi pemimpin dalam lembaga pendidikan. Praktik ketidakjelasan dan ketidakadilan dalam pengelolaan jenjang karir guru terjadi hingga kini.
Kesepuluh, RUU Sisdiknas hanya didisain untuk mengakomodir dan melegitimasi program kerja Kemdikbudristek era Nadiem Makarim belaka. Contoh, istilah Profil Pelajar Pancasila (PPP) sebenarnya hanya program kerja temporer yang dimuat dalam dokumen Renstra Kemdikbudristek Tahun 2020-2024. Melalui Permendikbud Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kemdikbudristek 2020-2024, PPP menjadi program kerja Nadiem.
Oleh karena itu, P2G masih berharap Kemdikbudristek terus membuka ruang dialog yang terbuka, jujur, dan partisipatif bersama semua stakeholder pendidikan. Jangan terburu-buru mengesahkannya menjadi UU.
“Seperti nasihat orang tua di Jawa dulu: Ojo kesusu, ojo grusa grusu, mengko mundhak kleru. Jangan sampai Kemdikbudristek dan DPR berlindung di balik alasan pandemi, secepat kilat sehingga proses pembahasan RUU ini bernasib seperti RUU Cipta Kerja atau UU IKN,” pungkasnya Iman. (her/fat)