Jakarta (pilar.id) – Pemerintah Indonesia lewat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) berkomitmen untuk memberikan layanan pendidikan kepada seluruh anak bangsa, termasuk masyarakat adat.
Pemerintah berupaya memberikan pendidikan yang layak dan setara untuk semua warga negara. Salah satu upaya untuk mencapai tujuan ini adalah dengan mendirikan sekolah adat.
Sekolah adat bertujuan untuk memberikan sarana belajar budaya yang vital dan berkelanjutan. Hal ini memberikan kesempatan bagi pelaku dan pengelola pemajuan kebudayaan untuk mengembangkan kemampuan dan kapasitas mereka, baik perseorangan, lembaga, maupun organisasi kemasyarakatan di bidang kebudayaan.
Menurut Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Sjamsul Hadi, kehadiran perwakilan sekolah adat dalam upacara Hardiknas 2023 menjadi harapan terhadap adanya kesetaraan dan kesempatan yang sama bagi seluruh warga negara Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Menurut data yang telah dihimpun Kemendikbudristek pada tahun 2023, jumlah sekolah adat yang telah dibina mencapai 118 sekolah adat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Kemendikbudristek memberikan dukungan seperti penyusunan kurikulum kontekstual bagi sekolah adat dan bekerja sama dengan Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikbudristek.
Anak-anak masyarakat adat merespons dengan baik kehadiran sekolah adat. Herman, seorang anak sekolah adat di Sokola Sumba, menceritakan kesenangannya bisa belajar di sekolah adat. Di Sokola Sumba, ia mendapatkan pelajaran menganyam dan menenun.
Sebelumnya, Herman sempat mengenyam pendidikan formal hingga kelas 2 SMP, tetapi jarang masuk sekolah karena kehidupan sehari-harinya tidak fokus hanya pada sekolah, melainkan membantu pekerjaan orang tua.
Sokola Sumba terletak di Kampung Adat Sodan, Desa Laboya Dete, Lamboya, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Di sekolah adat ini, anak-anak belajar menganyam dengan membawa daun pandan sendiri atau bisa memperoleh bahannya dari guru.
Kisah Herman berbeda dengan Nisa, anak Sekolah Adat Pesinauan Osing, Banyuwangi, Jawa Timur. Nisa menjalani dua jenis pendidikan sekaligus, yakni pendidikan formal di SMK dan sekolah adat. Nisa kini menjadi siswi kelas X di SMKN 1 Banyuwangi.
Alasannya masuk Sekolah Adat Pesinauan Osing adalah karena ia ingin lebih mengetahui tentang adat yang ada di desa Kemiren, sebuah desa adat di Banyuwangi. Nisa juga menjadi guru di Sekolah Adat Pesinauan Osing dan mengajarkan tari tradisional kepada anak-anak sekolah adat itu. Hal ini selaras dengan jurusannya di SMK, yakni Seni Tari. (ret/hdl)