Jakarta (pilar.id) – Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui sidang umum bersepakat menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Melawan Islamofobia Internasional. Kesepakatan ini diumumkan melalui akun resminya di Twitter.
Dalam cuitannya yang diunggah pada Rabu (16/3/2022), PPB menyerukan penguatan upaya internasional untuk mendukung dialog global yang mempromosikan budaya toleransi dan perdamaian. Upaya ini dilandaskan pada penghormatan dan penghargaan terhadap HAM dan keberagaman serta berkeyakinan.
Resolusi tersebut sendiri disepakati melalui konsensus dalam pertemuan yang digelar di Markas PBB di New York, Amerika Serikat, pada Selasa kemarin waktu setempat.
Resolusi ini sendiri diusung perwakilan Pakistan atas nama Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Pemilihan 15 Maret sebagai hari peringatan karena tanggal tersebut bertepatan momen serangan terhadap dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, saat menggelar Sholat Jumat
Insiden tersebut menewaskan 51 orang. Sementara 40 orang lainnya mengalami luka.
#UNGA proclaims 15 March the International Day to Combat Islamophobia.
General Assembly calls for strengthened international efforts to foster global dialogue on promotion of culture of tolerance & peace, based on respect for human rights & for diversity of religions & beliefs. pic.twitter.com/DTf2dLYNeB
— United Nations (@UN) March 16, 2022
Dalam pengantarnya saat menyampaikan resolusi tersebut, Perwakilan Pakistan untuk PBB, Munir Akram, menyatakan Islamofobia telah menjadi sebuah “realita” yang terus meningkat di berbagai belahan dunia.
Diketahui, Islamofobia sendiri adalah sikap atau perasaan fobia terhadap (agama) Islam dan umat Islam atau Muslim.
“Tindakan-tindakan seperti diskriminasi, kebencian dan kekerasan terhadap Muslim, baik individu maupun komunitas, mengarah pada pelanggaran serius atas hak-hak asasi mereka, dan melanggar kebebasan mereka untuk beragama dan berkeyakinan,” kata Akram di depan peserta sidang di Aula Pertemuan Sidang Umum PBB.
Kondisi ini, kata dia, cukup mengkhawatirkan. “Karena telah muncul sebagai bentuk baru rasisme yang tercirikan lewat xenofobia (kebencian/ketakutan pada hal yang asing), pandangan negatif dan stereotip (prasangka subyektif) terhadap Muslim,” sambungnya.
Resolusi ini juga menyepakati adanya kekhawatiran mendalam terhadap kenaikan kasus-kasus diskriminasi, intoleran dan kekerasan, terlepas dari siapa pun pelakunya, yang ditujukan kepada komunitas agama-agama dan keyakinan di seluruh dunia.
Ditegaskan pula dalam resolusi tersebut bahwa terorisme tidak bisa dan tidak boleh diasosiasikan dengan agama, kebangsaan, peradaban, atau etnis mana pun. (beq/Suara.com)