Jakarta (pilar.id) – Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Neilmaldrin Noor mengatakan, pemerintah akan terus melakukan berbagai strategi dan upaya untuk meningkatkan literasi pajak bagi pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM). Upaya tersebut dilakukan antara lain melalui kolaborasi dengan tax center yang ada di perguruan tinggi di Indonesia.
Hingga Maret 2022, jumlah tax center di Indonesia telah ada sebanyak 336 tax center. “Di tax center inilah DJP melibatkan para mahasiswa menjadi relawan pajak yang bertugas memberikan edukasi pajak dan membantu pengisian SPT para wajib pajak, termasuk UMKM,” kata Neilmaldrin, di Jakarta, Senin (21/11/2022).
Selain itu, DJP juga memiliki program khusus UMKM yang disebut Business Development Services (BDS). Neilmaldrin menjelaskan, BDS digalakkan melalui workshop, pelatihan kewirausahaan, seminar, kelas pajak tematik, serta layanan informasi dan asistensi kepada UMKM.
Ke depan, lanjut Neilmadrin, DJP akan berusaha berkolaborasi dengan pelaku platform digital seperti marketplace untuk meningkatkan literasi pajak UMKM. Terlebih, melalui perubahan di pasal 32A UU HPP, nantinya dimungkinkan penunjukan marketplace untuk memungut pajak atas transaksi yang dilakukan di marketplace.
“Kita tahu, mayoritas penjual di marketplace adalah UMKM. Untuk itu perlu edukasi juga, baik kepada platformnya maupun UMKM-nya,” ungkap Neilmadrin.
Sementara itu, Researcher of DDTC Fiscal Research & Advisory Lenida Ayumi mengatakan, mayoritas pelaku UMKM telah memiliki kesadaran akan pentingnya pajak. Tingginya kesadaran akan pajak tersebut tercermin dari mayoritas UMKM wajib pajak yang menyatakan bahwa pajak merupakan sarana kontribusi terhadap negara.
Namun, di sisi lain kontribusi PPh final UMKM masih sangatlah rendah. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) tahun 2019, kontribusi PPh final UMKM adalah sebesar Rp7,5 triliun atau hanya sekitar 1,1 persen dari total penerimaan PPh secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya literasi serta pengetahuan dari UMKM terhadap sistem pajak yang ada di Indonesia.
“Kesadaran atau motivasi yang dimiliki, sayangnya masih tidak serta merta diikuti dengan pemahaman atau literasi yang didapatkan pelaku UMKM,” kata Lenida Ayumi.
Lenida menjelaskan, baru sebagian kecil saja yang merasa telah mengetahui dan memahami ketentuan yang melekat dengan kewajiban pajak atau secara prosentase hanya sebesar 21,48 persen. Bahkan, terdapat 28 persen responden yang belum pernah mengikuti sosialisasi mengenai peraturan atau ketentuan pajak
Padahal, lanjut Lenida, literasi pajak yang cenderung minim dapat berimplikasi terhadap pengambilan keputusan pelaku UMKM untuk patuh atau tidak patuh. Selain itu dapat meningkatkan problematika penegakan hukum dan membahayakan keberlangsungan usaha.
Hal itu diamini Ketua Umum UMKM Naik Kelas Raden Tedy yang mengatakan, hingga saat ini masih banyak UMKM lokal yang belum berkembang signifikan. Selain itu, mereka belum paham betul tata cara membuat laporan keuangan hingga mengurus perizinan.
“Rendahnya angka partisipasi pajak dari sektor UMKM dapat dikarenakan minimnya kemampuan dan pengetahuan mereka tentang perpajakan,” tambah Raden Tedy.
Kepala Tax Center Universitas Gunadarma Beny Susanti mengatakan, DJP memiliki peranan yang sangat penting, terutama terkait literasi dan edukasi perpajakan. Tidak adil apabila pihak lain, seperti platform ecommerce, yang lebih optimal dalam memberikan literasi dan edukasi.
Sebelum berbicara lebih jauh terkait mekanisme potong pungut, hendaknya pemerintah terlebih dahulu memenuhi hak utama UMKM, yaitu mendapatkan literasi dan edukasi yang baik tentang sistem perpajakan. Menurutnya, UMKM bukan tidak mau bayar pajak, namun ada faktor lain, seperti sistem atau merasa kesulitan.
“Atau kita kembali ke definisi pajak. Saya bayar pajak itu, saya dapat apa secara langsung, enggak ada. Tiba-tiba dipotong pajaknya, nah edukasi ini yang perlu kita sampaikan secara masif,” kata dia.
Sebagai informasi, Kementerian Keuangan sebelumnya juga telah membuat sejumlah kebijakan agar penerimaan negara melalui UMKM dapat terserap secara optimal. Sebut saja, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Peraturan tersebut, memberikan keistimewaan peraturan perpajakan terhadap UMKM. Misalnya, penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) final UMKM dari yang sebelumnya 1 persen menjadi 0,5 persen berdasarkan penghasilan brutonya. Selain itu, pemerintah juga telah membebaskan PPh untuk UMKM perseorangan dengan penghasilan di bawah Rp500 juta per tahun melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). (ach/hdl)