Mojokerto (pilar.id) – Keberadaan Kali Brantas menjadi berkah tersendiri bagi warga di sekitarnya. Sungai yang membentang mulai dari Malang hingga Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, Mojokerto, Gresik, dan Surabaya, lalu bermuara ke Laut Utara Jawa ini memberikan penghidupan bagi warga di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas.
Selain karena jumlah ikan yang tak kenal surut, Kali Brantas juga memberikan ‘bonus’ berupa pasir berlimpah. Di DAS Sungai Brantas, dengan mudah kita temui aktivitas penambangan pasir, baik secara mekanik dan manual.
Penambangan secara mekanik berpotensi merusak kelestarian ekosistem sungai, akibat pengambilan pasir yang tidak terkontrol. Namun di tengah mekanisasi penambangan pasir itu, ternyata masih ada penambang pasir tradisional, seperti di Desa Kedungmungal, Kecamatan Pungging, Mojokerto.
Meski keberadaan mereka masih kontroversial, penambangan tradisional dinilai ‘lebih ramah’ lingkungan. Setidaknya kelompok ini tak terlalu rakus melahap pasir di dasar dan tebing sungai. Keberadaan mereka pun dianggap meningkatkan pendapatan masyarakat dan membuka lapangan pekerjaan. Baik sebagai penambang, kuli angkut, mandor, hingga sopir truck pasir.
Mereka, bersama penambang pasir yang lain, memilih jalan tradisional setelah muncul larangan penggunaan alat mekanik. Untuk bekerja, mereka cukup menggunakan alat sederhana seperti keranjang dan tangga bambu. Bahkan untuk menyelam, mereka sering tak menggunakan alat bantu apapun.
Dalam sehari, penambang pasir bisa meraup untung sedikitnya Rp 75 ribu. Konsekuensinya, mereka harus puluhan kali menyelam ke dasar sungai, mengeruk dan menaikkan pasir ke dalam perahu.
Apapun, penambangan pasir baik mekanik maupun tradisional, secara jangka panjang akan memberikan dampak negatif bagi kelestarian sungai. Dasar sungai tergerus, semakin dalam, sehingga mengikis pinggiran sungai yang umumnya menjadi tempat bertelur ikan-ikan. (ful)