Surabaya (pilar.id) – Dalam menghadapi Pemilu 2024 yang semakin mendekat, para calon kontestasi mulai mempersiapkan visi dan misi mereka, bahkan beberapa di antaranya telah mengumumkan janji-janji kampanye.
Namun, seringkali, janji-janji ini tidak terealisasi, dan beberapa di antaranya terkesan tidak realistis. Untuk menjawab tantangan ini, seorang pengamat ilmu politik dan dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair), Irfa’i Afham SIP MSc, memberikan panduan dalam memilih calon kontestasi yang tepat.
Irfa’i menjelaskan bahwa dalam politik, yang terpenting adalah memahami kepentingan. Kepentingan dalam politik memiliki berbagai jenis, seperti akses ke proyek-proyek, pendanaan, pengambilan keputusan terkait konsesi, dan bahkan masalah korupsi.
Oleh karena itu, masyarakat perlu mampu memahami dan mengenali kepentingan-kepentingan ini serta menentukan prioritasnya.
Irfa’i menggarisbawahi pentingnya memahami kepentingan yang mencerminkan kepentingan rakyat, masyarakat marginil, dan masyarakat rentan. Hal ini memerlukan komitmen kuat dan dukungan masyarakat sipil yang memiliki budaya politik yang matang.
Bagi pemilih pemula, Irfa’i menyarankan untuk memilih calon yang memiliki integritas, yang benar-benar mewakili kepentingan konstituen dan berkomitmen untuk merealisasikan kepentingan rakyat. Kampanye yang dijalankan oleh calon harus memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, budaya, usia, gender, dan isu-isu lain yang memengaruhi kehidupan rakyat.
“Idealnya, kampanye harus mencerminkan tuntutan, aspirasi, dan permasalahan masyarakat atau konstituen melalui visi-misi, agenda, program, bahkan kontrak politik,” kata Irfa’i di Surabaya, Kamis (26/10/2023).
Irfa’i juga menekankan pentingnya peningkatan literasi politik, terutama dalam memahami politik dan proses politik. Literasi politik membantu pemilih memahami isu-isu politik, pelaku politik, dan partai politik. Ini juga membantu masyarakat memahami pentingnya representasi politik.
Menanggapi maraknya kampanye bohong, Irfa’i menyarankan masyarakat untuk tidak hanya terpaku pada janji-janji kampanye, tetapi juga memperhatikan tindakan nyata calon sebelum dan setelah terpilih. Pemilih harus bersedia untuk menghukum calon yang gagal memenuhi janji-janji mereka atau terlibat dalam penyimpangan, seperti korupsi.
Cara untuk menghukum calon yang tidak memenuhi harapan bisa dengan tidak memilih mereka dalam pemilu berikutnya. Pemilu merupakan ekspresi dari demokrasi langsung, dan dengan hak pilih mereka, masyarakat memiliki kekuatan untuk mempengaruhi hasil pemilu dan memilih calon yang benar-benar mewakili kepentingan mereka. (ipl/ted)