Jakarta (pilar.id) – Kekhawatiran praktik politik uang dalam pemilihan umum (pemilu) tak pernah benar-benar lenyap dari pikiran. Praktik-praktik kotor tersebut seperti sudah mendarah daging di pemilu Indonesia. Apalagi saat ini kondisi ekonomi terbilang kurang baik-baik saja, rakyat pasti gampang diiming-imingi duit untuk memilih calon tertentu.
Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies, Nyarwi Ahmad, menyatakan,di tengah laju inflasi dan tekanan ekonomi global saat ini godaan pemilih untuk menerima politik uang memang cukup tinggi.
Namun, hal ini tergantung pada kecenderung perilaku elit-elit politik atau kandidat yang maju dalam Pemilu 2024 mendatang. Jika mereka semakin tertarik menggunakan politik uang untuk memobilisasi pemilih dan semakin tinggi tingkat permisifitas pemilih tersebut pada politik uang, maka eskalasi politik uang dalam Pemilu 2024 mendatang bisa makin meningkat.
Indikasi adanya tren politik uang sudah sering disebutkan oleh banyak pihak muncul dalam pemilu-pemilu sebelumnya, baik dalam Pileg, Pilpres maupun Pilkada. Namun, belum ada data yang sangat valid yang menunjukkan bahwa preferensi mayoritas pemilih pada partai maupun kandidat sepenuhnya ditentukan oleh politik uang sebagai faktor utama yang menentukan pilihan mereka.
“Dalam arena pemilu apapun, menurut saya tidak ada jaminan bahwa mereka yang menjalankan politik uang secara masif dan intensif dalam jumlah besar secara otomatis keluar sebagai pemenang pemilu atau terpilih atau mendapatkan kursi di jabatan publik,” kata Nyarwi kepada wartawan, Kamis (20/10/2022).
Selain itu, permisifitas pemilih pada politik uang di setiap daerah juga berbeda-beda. Pemilih di sejumlah daerah tertentu bisa saja memiliki permisifitas yang tinggi pada politik uang. Di tempat lainnya, tingkat permisifitas semacam itu bisa saja lebih rendah.
Dosen Komunikasi Politik Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) ini bilang, di daerah dengan mayoritas pemilih yang memiliki tingkat permisifitas pada politik uang yang tinggi sekalipun belum tentu preferensi pilihan mereka sangat ditentukan oleh faktor politik uang. Para kandidat dan pimpinan parpol pasti sudah menyadari kondisi-kondisi semacam itu.
Kemampuan sumber keuangan parpol dan tim pendukung capres-cawapres untuk menjalankan politik uang pada seluruh pemilih 2024 sepertinya masih terbatas. Banyak di antaranya yang justru memiliki keterbatasan sumber daya keuangan untuk dapat melakukan politik uang secara masif dan luas dalam jumlah yang sangat besar untuk pilpres mendatang.
“Apalagi jika politik uang tidak sepenuhnya dapat menjamin kemenangan mereka dalam laga pilpres 2024 mendatang,” ujarnya.
Politik uang dapat terus menghantui pemilu di Indonesia jika elit-elit yang menjadi kandidat yang bertarung dalam pemilu masih terus mengandalkan politik uang (terlepas dari apapun bentuknya) untuk memobilisasi pemilih. Tren ini juga bisa terus berkembang jika permisifitas pemilih pada politik uang masih sangat besar dan angka inflasi dan tekanan ekonomi yang ada menyulitkan kehidupan mayoritas pemilih.
Peluang untuk menurunkan kadar politik uang dalam setiap pemilu tentu selalu ada. Syarat utamanya yakni, hasrat para kandidat untuk menggunakan politik uang dalam memenangkan pemilu bisa diredam, tingkat permisifitas pemilih untuk menerima politik uang bisa diperkecil, pendidikan dan kecerdasan politik masyarakat kita dalam memahami posisi dan peran strategisnya dalam arena pemilu makin ditingkatkan.
Lalu pengawasan praktek-praktek politik uang diintensifkan, penegakan hukum atas terjadinya praktek-praktek politik uang dijalankan lebih maksimal, dan tingkat penolakan masyarakat pada politik uang makin massif.
Menurutnya, menghilangkan perilaku politik uang dalam pemilu tentu saja tidak cukup hanya dengan pengawasan dan penegakan hukum pada mereka yang menjalankan atau yang menerima politik saja. Langkah tersebut hanya mampu mengerem laju politik uang pada sisi hilirnya saja.
Terpenting adalah pada di sisi hulunya, yaitu hal-hal yang mendorong eskalasi praktek-praktek politik uang, baik yang bersumber dari aktornya, yaitu elit-elit atau kandidat-kandidat yang menjalankan politik uang dan juga pemilih yang permisif pada politik uang.
“Maupun dari faktor strukturalnya, yaitu kondisi-kondisi yang menyebarkan elit-elit atau kandidat-kandidat tersebut menjalankan
politik uang ataupun yang menjadikan masyarakat makin permisif pada politik uang yang mereka lakukan,” tegas Nyarwi. (her/din)