Jakarta (pilar.id) – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, 2023 merupakan tahun yang gelap. Dari sisi internasional, tak ada yang bisa memprediksi kapan berakhirnya perang Rusia dan Ukraina.
Namun, paling tidak ada 3 kondisi yang bakal terjadi berkaitan dengan perang dua negara tersebut. Pertama, Rusia dan Ukraina masih terus melakukan perang. Kedua, Presiden Ukraina akan menegosiasikan dengan pengganti Vladimir Putin.
Sesuai konstitusi Rusia, masa jabatan Putin akan berakhir pada 2024 nanti. Namun pada 2021 lalu, Putin ternyata telah menandatangani undang-undang yang dapat membuatnya tetap menjabat sebagai Presiden Rusia hingga 2036.
“Itu butuh situasi yang cukup rumit di Rusia sendiri. Sehingga itu juga sulit untuk kita prediksi,” kata Tauhid, di Jakarta, Senin (12/5/2022).
Kemungkinan yang ketiga, salah satu pihak akan menang perang, baik Rusia maupun Ukraina. Namun, kemungkinan ini justru akan menimbulkan polemik berkepanjangan. “Kalau Rusia menang, tentu saja akan berimplikasi sanksi yang sangat hebat sekali dan ini akan berakibat juga bagi situasi dunia,” kata Tauhid.
Sementara itu, dari sisi domestik Indonesia tengah menghadapi tahun politik yang penuh ketidakpastian. Belajar dari pengalaman, data stock exchange atau Bursa Efek Indonesia, satu tahun sebelum pemilu trennya turun.
“2013 turun, 2018 trennya turun. Kita sekarang berada pada angka sekitar 7000. Ini dibaca oleh market merupakan suatu ketidakpastian yang tinggi,” kata Tauhid.
Belum lagi, lanjut Tauhid, bicara mengenai inflasi dan nilai tukar. Karena itu, menurutnya, Indonesia harus memiliki skenario-skenario untuk menghadapi ketidakpastian di tahun depan.
“Bagaimana kita bersiap, kita waspada, mengambil langkah-langkah strategis menghadapi ketidakpastian,” kata dia.
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengaku optimistis Indonesia dapat menahan gejolak global. Menurutnya, rasa optimisme itu tumbuh dengan membuat skenario-skenario, serta menyusun sinergi dan kolaborasi koordinasi bauran kebijakan.
Menurut Perry, dampak dari gejolak global tersebut memang dapat menurunkan angka pertumbuhan ekonomi dunia turun dari 3 persen hingga menjadi 2-2,6 persen pada tahun depan. “Tentu saja ini akan berdampak dari kemampuan Indonesia mendorong pertumbuhan dari sisi growth,” kata dia. (ach/hdl)