Purworejo (pilar.id) – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyampaikan bahwa sektor pertanian menghadapi dampak paling serius dari perubahan iklim yang terjadi. Perubahan pola curah hujan dan kenaikan suhu udara telah menyebabkan penurunan signifikan dalam produksi pertanian.
Kejadian cuaca ekstrem seperti banjir dan kekeringan semakin meluas, mengakibatkan gagal panen atau kerugian luas pada tanaman.
“Dampak perubahan iklim yang begitu besar memerlukan tindakan proaktif dalam strategi mitigasi dan adaptasi. Tanpa tindakan ini, ketahanan pangan nasional dapat terancam,” ungkap Dwikorita saat membuka Sekolah Lapang Iklim (SLI) untuk Komoditas Buah Jeruk di Balai Desa Bringin, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, baru-baru ini.
Acara SLI ini dihadiri oleh puluhan petani jeruk dan penyuluh pertanian. Beberapa tokoh penting juga turut hadir, termasuk Anggota Komisi V DPR RI, Sujadi, Anggota DPRD Jawa Tengah, M Zaenudin, Wakil Bupati Purworejo, Yuli Hastuti, Ketua DPRD Purworejo, Dion Agasi Setyabudi, serta perwakilan Forkopimcam Bayan. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, juga ikut hadir secara virtual.
Dwikorita menekankan bahwa petani, sebagai garda terdepan di sektor pertanian, harus memiliki pengetahuan yang cukup untuk memahami fenomena cuaca dan perubahan iklim. “Dengan pemahaman ini, petani dapat merencanakan berbagai hal, mulai dari penentuan waktu tanam, penggunaan varietas tahan kekeringan, manajemen air, dan lainnya,” tambahnya.
Melalui SLI, BMKG bertujuan untuk membantu para petani dalam memahami informasi iklim. Pasalnya, pertanian adalah kegiatan yang sangat tergantung pada cuaca dan iklim. Harapannya, para petani dan penyuluh pertanian dapat memanfaatkan informasi cuaca dan prakiraan dengan lebih baik, serta dapat beradaptasi dengan kondisi cuaca dan iklim yang berubah-ubah.
“SLI ini adalah bagian dari komitmen BMKG dalam mendukung perkembangan pertanian di Indonesia. Kami berharap bahwa setelah petani dilengkapi dengan pengetahuan tentang cuaca dan iklim, produksi dan kualitas buah jeruk dari Purworejo akan semakin meningkat, memberikan kesejahteraan kepada para petani,” tambahnya.
Lebih lanjut, Dwikorita mengungkapkan bahwa fenomena El Nino dan IOD Positif telah menyebabkan musim kemarau tahun ini menjadi lebih kering, dengan curah hujan yang rendah hingga sangat rendah. Jika biasanya curah hujan mencapai 20 mm per hari, pada musim kemarau ini, frekuensi hujan dapat menjadi sekali dalam sebulan atau bahkan tidak ada sama sekali.
“Diperkirakan puncak musim kemarau ini akan terjadi antara bulan Agustus hingga awal September, dengan kondisi yang lebih kering dibandingkan tahun 2020, 2021, dan 2022,” jelasnya.
Wakil Bupati Purworejo, Yuli Hastuti, mengapresiasi adanya kegiatan SLI, terutama bagi petani jeruk. Ia mengingatkan bahwa Kabupaten Purworejo pernah dikenal sebagai sentra produksi buah jeruk, terutama di Kecamatan Bayan. Buah jeruk dari Purworejo dikenal memiliki kualitas yang baik dan diminati oleh pasar lokal maupun nasional. (mad/hdl)