Jakarta (pilar.id) – Brigadir Jenderal Adi Vivid A Bactiar Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri mengungkapkan bahwa kasus Andi Pangerang (AP) Hasanuddin, yang terkait dengan ujaran kebencian dan pengancaman terhadap warga Muhammadiyah, kemungkinan akan melibatkan tersangka lain yang terlibat dalam percakapan di media sosial.
Vivid mengatakan bahwa beberapa percakapan dalam unggahan diskusi di akun Facebook milik Thomas Djamaluddin yang dikomentari oleh AP Hasanuddin telah dihapus. Saat ini, dalam penyelidikan, hanya satu tersangka yang ditetapkan, yakni AP Hasanuddin.
Vivid mengatakan bahwa apabila warga-net menemukan kata-kata yang mengandung unsur yang sama seperti yang dilontarkan AP Hasanuddin, dapat melapor ke penyidik Dittipidsiber Bareskrim Polri.
Dia menambahkan bahwa tidak ada indikasi bahwa tersangka akan mewujudkan ancamannya. Vivid juga menyatakan bahwa AP Hasanuddin menyadari kesalahan dan tidak akan mewujudkan ancamannya.
Dalam pemeriksaan penyidik, diketahui bahwa AP Hasanuddin dalam keadaan sehat dan tidak dalam pengaruh alkohol atau obat-obatan terlarang saat menulis komentar tersebut di akun Facebook pada 21 April pukul 15.30 WIB di Jombang.
Vivid menambahkan bahwa AP Hasanuddin memiliki latar belakang keilmuan yang baik, namun mungkin karena lelah setelah berdebat, emosinya naik dan dia mengucapkan kata-kata yang tidak pantas.
AP Hasanuddin, yang juga peneliti Astrologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ujaran kebencian dan pengancaman yang ditujukan secara pribadi melalui media elektronik.
Dia disangkakan dengan dua pasal, yakni Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, serta Pasal 45B juncto Pasal 29 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta. (hdl)