Jakarta (pilar.id) – Konflik internal di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hingga saat ini masih terus berlanjut. Akhir Agustus lalu, Front Kader Penyelamat Partai (FKPP) melakukan unjuk rasa di depan Kantor Dewan Pengurus Pusat PPP dan meminta Suharso Monoarfa mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum PPP.
Tak lama berselang, berlangsunglah Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPP yang melakukan pemecatan kepada Suharso Monoarfa dan membentuk susunan pengurus baru. Elit pimpinan PPP pun telah menyerahkan hasil Mukernas ke Kementerian Hukum dan HAM untuk proses pengesahan.
Namun di sisi lain, Suhardo Monoarfa tetap tak mau mengakui hasil Mukernas yang tidak ia hadiri tersebut dan menyatakan diri masih menjadi Ketua Umum PPP. Hal tersebut juga dikuatkan oleh praktisi hukum Pitra Romadoni Nasution yang menilai hasil Mukernas PPP tidak sah.
“Bisa dikatakan tidak sah. Apalagi, jika para peserta Mukernas itu tidak dihadiri ketua, sekretaris dan bendahara sebagaimana layaknya organisasi,” kata dia melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (8/9/2022).
Dari pandangan hukum organisasi politik harus sesuai AD/ART. Oleh karena itu, jika bertentangan dengan AD/ART maka keputusan atau hasilnya tidak sah.
“Aktor intelektualnya harus diusut. Apabila bukan pemegang mandat PPP sesuai AD/ART, itu merupakan pembegalan terhadap ketua yang sah,” tegasnya.
Presiden Kongres Pemuda Indonesia tersebut mengatakan pergantian Ketua Umum PPP juga harus jelas kesalahan apa yang dilakukan. Apabila tidak ada kesalahan, maka hal tersebut adalah masalah hukum.
Sebab, legalitas pengurusan partai politik harus melalui keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Mengacu Pasal 23 Undang-Undang Partai Politik menyatakan susunan kepengurusan hasil pergantian kepengurusan tingkat pusat, didaftarkan ke Kemenkumham paling lama 30 hari terhitung sejak terbentuknya kepengurusan yang baru.
Jika ditinjau dari perspektif legal-formal, kekhawatiran tersebut agak berlebihan karena kewenangan atributif Menkumham untuk mengesahkan perubahan kepengurusan partai politik hanya dapat dilakukan dalam keadaan normal atau tidak ada konflik, jelasnya.
Sementara terkait izin Mukernas dari polisi, Pitra mengatakan hal tersebut hanya masalah pengamanan dan sifatnya administrasi. Namun, yang dipermasalahkan adalah keputusannya.
“Karena pergantian Suharso Monoarfa sebagai Ketua Umum PPP terkesan mengandung hostile takeover,” ujar dia.(fat)