Kupang (pilar.id) – Polisi Wanita yang di dadanya terpasang nama Aulia itu memeluk Putu sembari mengelus punggungnya. Ia coba menenangkan perempuan berusia 35 tahun yang berasal dari Bali tersebut.
Menyesal, sedih, kecewa, takut. Itulah yang dirasakan Putu setelah berhasil diselamatkan oleh Direktorat Polisi Perairan dan Udaran Polda NTT di Dermaga Pelabuhan Tenau Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Sebelumnya, Putu bersama 26 orang lainnya dinaikkan ke atas sebuah kapal kayu yang tidak layak pakai, Senin (18/4/2022). Rencananya, mereka akan diselundupkan melalui jalur laut menuju Australia. Putu, jadi satu-satunya perempuan di rombongan kapal tersebut.
Padahal, untuk bisa berangkat ke Autralia, Putu telah menyetorkan uang sebesar Rp75 juta kepada orang yang merekrutnya. Ia diiming-imingi bekerja di sebuah perkebunan di Australia.
Gaji yang dijanjikan pun cukup tinggi yakni 20 dollar Australia sehari. Jika dirupiahkan, Putu akan mendapat gaji Rp211 ribu perhari.
Namun, semua angan dan cita-cita Putu untuk bisa membantu perekonomian suaminya dengan berangkat bekerja ke Australia justru berakhir dengan penipuan. Ia pun tak bisa menyembunyikan kesedihan dan kekecewaannya.
Air matanya terus mengalir, terisak-isak. Putu tak bisa memendam kepedihan yang ia rasakan.
“Saya sudah minta restu suami untuk berangkat. Dan suami saya juga merestui. Tapi kalau seperti ini, saya juga tidak tahu apakah uang yang saya setorkan akan kembali atau tidak,” terang Putu.
Berbeda dengan Putu, korban lain dari kasus penyelundupan orang yang berasal dari Bali, Made, juga mengaku menyesal dengan keputusan yang sudah diambilnya. Ia bahkan menyetor uang kepada perekrutnya lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan yang sudah disetorkan oleh Putu.
“Saya juga sudah setor Rp85 juta, karena dapat tawaran yang menggiurkan untuk bisa dapat kerja di Australia dengan upah yang besar,” ceritanya. Made memang sudah lama mencari pekerjaan apalagi di saat pandemi Covid-19 dia diberhentikan dari perusahaannya tempat dia bekerja.
Para calon pekerja yang akan diselundupkan itu rata-rata harus menyetorkan Rp70 juta hingga Rp90 juta kepada para perekrutnya untuk dapat dipekerjakan di Australia. Negara benua itu dipilih, salah satunya karena letak yang cukup dekat dengan Pulau Timor di NTT.
Mereka mendapatkan tawaran pekerjaan itu melalui aplikasi “facebook”. Setelah itu si perekrut mengarahkan mereka untuk mengirim pesan melalui kotak pesan facebook untuk melakukan transaksi dan dan diberikan nomor telpon.
Setiap peminat diminta untuk mentransfer dulu sebagian biayanya ke nomor rekening milik seorang perekrut bernama Sugito yang mana nanti sisanya bisa dilunasi saat pertemuan di Kupang.
Selama berada di Kupang, para calon pekerja ilegal itu ditempatkan di salah satu di hotel ternama di sana, sehingga para calon pekerja itu merasa yakin dengan tawaran serta iming-iming dari para perekrut itu.
Namun semuanya itu buyar, setelah pada 18 April pukul 23.00 WITA ketika mereka tiba di Pelabuhan Tenau, perekrut menunjukkan kapal yang akan digunakan untuk berlayar ke Australia.
Sontak 26 orang WNI yang akan diselundupkan itu langsung menolak dan membatalkan diri untuk berangkat. Merekapun sempat adu mulut dengan perekrut dan tidak percaya lagi dengan pelayanan yang diberikan.
Perekrut ditangkap
Di Kantor Ditpolairud Polda NTT di kawasan Bolok, Kupang, wajah-wajah penuh penyesalan itu tampak lesu. Harapan akan mendapatkan uang banyak dan nasib yang lebih baik, pupus lantaran jalan salah yang telah mereka tempuh.
Imbas dari adu mulut antara para calon pekerja dan perekrut, warga sekitar pelabuhan pun langsung melaporkan hal itu. Polisipun tiba dan langsung menangkap Sugito atau S warga yang beralamat di Bali dan berhasil menyelamatkan 26 WNI yang akan diselundupkan itu.
Mereka berasal dari daerah yang berbeda-beda di Indonesia. Seorang dari Sumatera Utara, yang lain dari Jawa Barat, empat orang dari Jawa Tengah, sembilan orang dari Jawa Timur, tujuh orang dari Bali, dan empat orang dari Nusa Tenggara Barat.
Para WNI berasal dari berbagai daerah di Indonesia itu, dijanjikan bekerja di perkebunan di Australia dengan gaji mencapai Rp30 juta per bulan, sebagaimana diketahui dari pemeriksaan bahwa Sugito menawarkan pekerjaan di Australia bagi WNI yang berminat dengan iming-iming gaji Rp30 juta perbulan.
Proses penawaran kerja itu disebar melalui media sosial yakni facebook dengan tujuan menarik banyak orang yang ingin bekerja di Negara Kanguru itu. Setiap orang yang ingin bekerja di Australia dari hasil pemeriksaan sementara Sugito mengaku setiap orangharus menyetor Rp80 juta sampai 90 juga per orang.
Para calon pekerja itu juga diketahui hendak dipekerjakan di perkebunan di Australia, namun belum tahu perkebunan seperti apa itu.
Ditangkapnya Sugito sebagai orang yang bertugas mengantarkan 26 WNI ke Australia menjadi tanda tanya besar bagi polisi di NTT dalam membongkar kasus penyelundupan orang itu. Pasalnya setiap daerah mempunyai orang tersendiri untuk merekrut WNI yang ingin bekerja di Australia.
Tak hanya itu, polisi juga menduga ada kelompok tertentu yang berada di Australia yang akan menjemput sejumlah WNI tersebut jika selamat atau lolos sampai di negeri Kangguru tersebut.
“Kami masih dalami. Kini baru satu orang yang kami tangkap,” kata Direktur Polairud Polda NTT, Komisaris Besar Polisi Nyoman Budiarja.
Saat ini Sugito belum ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus itu karena masih dalam penyelidikan, namun polisi yakin akan ada pelaku baru yang akan diekspos ke publik. Sugito juga diduga melanggar pasal 120 ayat (2) UU Nomor 6/2011 tentang Keimigrasian.
Saat ini 26 WNI itu ditempatkan pada salah satu ruangan Subdit Polairud NTT yang berukuran 4×6 meter persegi. Mereka membawa ransel serta membentang alas lantai untuk pembaringan sekaligus beristirahat. Mereka telah dimintai keterangan oleh polisi dan kini menunggu jadwal kepulangan ke daerah masing-masing. (fat/tra)