Surabaya (pilar.id) – Profesor Dr. Muhammad Nafik Hadi Ryandono, seorang dosen dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (Unair), resmi dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang Ilmu Ekonomi dan Keuangan Sosial Islam. Upacara pengukuhan tersebut berlangsung di Aula Garuda Mukti, Kampus MERR-(C), Unair pada Rabu (25/10/2023).
Dalam pidato ilmiahnya yang berjudul “Pasar Ta’awun: Solusi Kesenjangan Ekonomi dan Ketidakadilan Pasar,” Prof. Nafik menyoroti konsep pasar ta’awun sebagai solusi untuk mengurangi ketidakadilan ekonomi dan kesenjangan sosial. Ia mengungkapkan bahwa pasar ta’awun akan melayani baik golongan yang mampu membeli maupun yang tidak mampu. Konsep ini mendasarkan diri pada ide bahwa pasar ta’awun adalah alat untuk menghubungkan mereka yang membutuhkan dengan mereka yang memberi.
“Ilmu ekonomi konvensional tidak membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Paradigma ini menciptakan persaingan dalam perburuan sumber daya alam yang berujung pada sistem pasar persaingan,” jelasnya.
Menurutnya, sistem pasar persaingan tidak memfasilitasi sumber daya alam secara gratis, sehingga hanya melayani golongan mampu untuk membeli, sementara yang tidak mampu terabaikan. Akibatnya, ketidakadilan ekonomi menjadi semakin sulit untuk diatasi. Namun, dalam ilmu ekonomi Islam, terdapat solusi yang dapat memberikan manfaat baik bagi mereka yang mampu maupun yang tidak mampu, yaitu sistem pasar ta’awun.
Bagi mereka yang mampu membeli, transaksi jual-beli berlangsung seperti biasa. Namun, bagi mereka yang tidak mampu, mereka akan menerima komoditas secara gratis, yang dibiayai oleh dana sosial Islam, seperti zakat, infak, dan shodaqoh (ZIS). Dampak positif dari sistem ini adalah meningkatnya jumlah komoditas yang tersedia di pasar dan terserap oleh masyarakat, sehingga harga komoditas menjadi lebih terjangkau.
“Penentuan harga dalam sistem pasar ta’awun yang normal akan mencegah terjadinya ketidakadilan dan eksploitasi terhadap harta dan nyawa manusia,” tambahnya.
Namun, Prof. Nafik menjelaskan bahwa jika harga ditetapkan lebih tinggi daripada harga pasar normal, tingkat ZIS akan menurun, dan ini akan berdampak pada penurunan jumlah ZIS yang diterima. Sebagian masyarakat kemudian tidak akan mampu membeli komoditas. Di sisi lain, jika harga ditetapkan lebih rendah, pedagang akan menghadapi penurunan keuntungan, yang juga merupakan ketidakadilan terhadap pedagang.
“Ketika mekanisme pasar berjalan normal, pemerintah seharusnya tidak campur tangan, tetapi jika mekanisme pasar mengalami ketidaknormalan, pemerintah harus turut campur untuk memulihkan keteraturan pasar,” pungkas Prof. Nafik. (ipl/ted)