Jakarta (pilar.id) – Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS Chairul Anwar mengkritisi pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari tentang sistem pemilu 2024 yang dimungkinkan menggunakan proporsional tertutup. Menurut Chairul, KPU tidak selayaknya melemparkan sinyal mengenai perubahan sistem pemilu.
“Wewenang KPU hanyalah sebagai penyelenggara pemilu, bukan sebagai penyusun peraturan mengenai sistem pemilu,” kata Chairul, di Jakarta, Senin (9/1/2022).
Chairul mengatakan, sistem pemilu hanya bisa dirombak oleh DPR dan perlu dibahas terlebih dahulu di Komisi II DPR RI. Ketentuan tersebut sesuai dengan UU Nomor 7/2017 Tentang Pemilu. Jika ingin mengubah sistem proporsional terbuka, maka DPR harus melakukan revisi UU Nomor 7/2017.
“Baik sistem proporsional terbuka dan tertutup sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan. Kekurangan sistem proporsional tertutup adalah kurang demokratis dan memperkuat oligarki,” kata dia.
Menurut politikus PKS itu, mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup, dapat memperkuat oligarki dan memperburuk kualitas demokrasi di Indonesia. Berdasarkan data The Economist Intelligence Unit (EIU) tentang indeks demokrasi dunia, Indonesia menduduki peringkat ke-52 dari 167 negara dengan skor 6,71 pada 2021.
“Peringkat ini naik dari peringkat ke-64. Namun, Indonesia masih berada di bawah Malaysia yang berada di peringkat ke-39 dengan skor 7,24. Jika Indonesia menerapkan sistem pemilu proporsional tertutup, kualitas demokrasi Indonesia dikhawatirkan menurun,” kata dia.
Masalah besar pemilu Indonesia, lanjut Chairul, adalah politik uang dan kualitas anggota legislatif. Karena itu, mengubah sistem pemilu di Indonesia sama sekali tidak menyelesaikan masalah tersebut. Sebab, politik uang dapat dilakukan baik di sistem proporsional terbuka maupun tertutup.
“Perbedaannya hanya pada modus operasinya dan pelakunya. Jika sistem tertutup, politik uang dilakukan oleh partai yang memiliki finansial kuat, sementara pada sistem proporsional terbuka, politik uang dilakukan oleh caleg. Objeknya tetap sama yaitu rakyat,” ungkapnya.
Kualitas caleg, imbuhnya, juga tidak akan mengalami perubahan dengan sistem proporsional tertutup, sebab kualitas caleg bergantung pada kaderisasi parpol. Jika kaderisasi parpol buruk, maka caleg yang dihasilkan berkualitas buruk.
Menurutnya, apabila sistem proporsional tertutup tetap dipaksakan, maka dikhawatirkan akan ada gejolak besar yang bisa tercipta dan akhirnya meningkatkan potensi ketegangan dan konflik menjelang Pemilu 2024. Oleh sebab itu, lanjut Chairul, pihaknya tidak melihat adanya urgensi bagi DPR untuk mengubah sistem pemilu dari proporsional tertutup menjadi terbuka.
“Yang seharusnya dibenahi bukanlah sistem pemilu, melainkan profesionalitas penyelenggara pemilu. Kasus dugaan pelecehan seksual Ketua KPU ditambah dengan adanya dugaan intimidasi KPU ke KPUD untuk meloloskan beberapa partai menunjukkan bahwa profesionalitas KPU dipertanyakan. Hal ini akan memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024,” bebernya.
Sementara itu, pengamat politik Universitas Gajah Mada (UGM) Mada Sukmajati berkomentar, sistem proporsional tertutup memiliki lebih banyak kelebihan dan lebih cocok untuk diterapkan pada penyelenggaraan pemilu legislatif secara serentak. Meski sistem ini dianggap lebih sesuai, pelaksanaan pemilu legislatif dengan sistem proporsional tertutup perlu diawali dengan pemilu pendahuluan atau proses kandidasi di internal partai politik yang memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.
“Banyak ahli sudah mewanti-wanti kalau sebuah negara menyelenggarakan pemilu serentak maka pilihlah sistem yang paling sederhana, dan sistem tertutup ini adalah sistem yang sederhana dari sisi pemilih,” katanya, sebagaimana dikutip dari laman UGM.
Di sisi lain, perlu dilakukan edukasi agar para pemilih mengenal nama-nama yang dicalonkan oleh sebuah partai. “Ketika memilih tidak ada gambar tidak apa-apa karena ada proses pendahulu yang bisa menjamin,” imbuhnya.
Kelebihan lainnya, sistem ini secara teknis lebih meringankan panitia pelaksana pemilu karena proses rekapitulasi atau penghitungan suara lebih mudah. Hal ini dirasa perlu menjadi salah satu pertimbangan mengingat pada pemilu sebelumnya ditemukan sejumlah penyelenggara yang sampai meninggal dunia karena kelelahan.
Untuk memastikan bahwa prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi terpenuhi, ada berbagai mekanisme yang bisa diterapkan penyelenggara pemilu. Misalnya, melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang mewajibkan setiap partai membuat berita acara terkait proses pencalonan. Selain itu, pemilih juga bisa berperan misalnya dengan membuat forum di luar partai politik.
“Sistem tertutup hampir bisa dipastikan akan disetujui oleh partai yang secara serius mengorganisasi diri, meski tetap akan ada banyak kendala, dan pasti tidak disetujui partai yang tidak suka capek-capek mengorganisasi dan hanya memainkan media,” kata Mada. (ach/hdl)