Surabaya (pilar.id) – Fenomena perundungan semakin meresahkan, terutama di kalangan remaja, dan baru-baru ini, kasus perundungan di sekolah kembali mencuri perhatian masyarakat.
Margaretha SPsi PGDip Psych MSc, seorang ahli Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental dari Universitas Airlangga (Unair), memberikan wawasan terkait permasalahan ini. Menurut risetnya, sekitar 40 persen siswa pernah melihat atau terlibat dalam perundungan.
Margaretha menekankan bahwa perundungan bukan hanya merugikan korban, tetapi juga dapat merusak kesehatan fisik dan mental pelaku. Dalam konteks ini, ia menyampaikan bahwa perundungan adalah tindakan agresi dengan penggunaan kekerasan yang berulang, baik dalam bentuk fisik, verbal, emosional, eksploitasi ekonomi, penelantaran, maupun secara online.
Faktor-faktor penyebab perundungan, menurut Margaretha, melibatkan pembelajaran kekerasan dari lingkungan, baik di rumah maupun interaksi sosial. “Pelaku perundungan biasanya kurang cakap menyelesaikan persoalan pribadi dan sosialnya, sehingga menggunakan tindakan kekerasan sebagai cara yang tidak efektif atau sebagai pengalihan dari ketidakmampuannya menyelesaikan masalah,” paparnya.
Lebih lanjut, Margaretha menjelaskan bahwa beberapa faktor membuat seseorang lebih berisiko menjadi korban perundungan, termasuk kurangnya dukungan sosial, kelemahan penyelesaian konflik, dan memiliki kebutuhan khusus atau disabilitas. Siswa dengan disabilitas di sekolah inklusi misalnya, rentan menjadi korban perundungan.
Margaretha menekankan pentingnya melibatkan diri sebagai agen perubahan dan bukan hanya menjadi pengamat atau penonton perundungan. Melaporkan atau menghentikan perundungan adalah langkah awal untuk mengakhiri siklus kekerasan. Dia juga mencatat bahwa tidak semua korban perundungan mengalami trauma, tergantung pada bagaimana mereka menanggapi masalah dan mendapatkan bantuan.
“Kita harus berani menyatakan stop bullying, kita harus berbicara dan tidak membiarkan perundungan terjadi,” ujar Margaretha. Dia juga menyoroti variasi gejala trauma pada korban perundungan, mulai dari rasa takut, menarik diri, hingga reaktivitas yang tinggi.
Dalam mengatasi perundungan, Margaretha mendorong peran aktif dari lingkungan sekolah dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung. Dukungan sosial dan pendekatan pencegahan menjadi kunci dalam mengatasi masalah perundungan di kalangan remaja. (ipl/hdl)