Saat hadir Pendopo Trunojoyo Kabupaten Sampang, Rabu (19/4/2023), Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa membagikan santunan dan pemberian paket tas sekolah bagi 500 anak yatim piatu.
Di depan anak-anak itu, ia mengajak para anak yatim dan para pelaku usaha ultra mikro selalu berprasangka baik atau husnudzon kepada Allah SWT.
“Ini penting, sebab dengan berprasangka baik, maka insyaAllah akan datang kebahagiaan dan keberkahan dari Allah,” tegasnya.
Ia menambahkan, Ana ‘inda dhonni ‘abdi bi. Kalau memprasangkakan kebahagiaan, maka Allah akan menurunkan kebahagiaan bagi kita semua. “Maka kunci kebahagiaan adalah berbaik sangka kepada Allah,” tegas Khofifah.
Beberapa tahun silam, saya pernah membaca catatan ini. Menurut Wakil Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Agoes Ali Masyhuri, kunci mendapatkan kebahagiaan adalah selalu berbaik sangka kepada Allah. Hal ini sesuai dengan apa yang ada di dalam Hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.
“Cita-cita yang mulia akan menjadi kenyataan bila kita modal dasar berbaik sangka kepada Allah. Hal ini sejalan dengan pesan suci Allah melalui Hadis Qudsinya, Ana ‘inda dhonni ‘abdi bi. Rawahut Tirmidzi. Aku (Allah) senantiasa bersama dengan prasangka hambaKu kepadaKu,” katanya di acara Ngaji Mahasantri Milenial Bersama Gus Baha yang diselenggarakan PWNU Jawa Timur.
Kyai Agoes Ali menambahkan lagi, tanpa modal berbaik sangka kepada Allah SWT, seseorang tak akan merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Ramadhan dan Prasangka
Ramadhan, tinggal beberapa langkah akan kita tinggalkan. Saya ingat di tahun-tahun terdahulu, saat pandemi Covid-19 jadi hantu menakutkan dan memaksa kita tak berdaya.
Diam-diam saya ke Masjid Sunan Ampel. Melihat masyarakat muslim berkumpul. Dan sebagian besar tak mengenakan masker. Mereka ringan beranjak mengambil wudlu, lalu masuk ke dalam masjid. Menjalankan salat, membuat kelompok jamaah atau memanjat doa sendiri.
“Nggak takut kena Covid, cak?” tanya saya. Mereka menjawab ringan, “Gusti Allah yang njaga”.

Saya tak berani berkesimpulan, apakah mereka kemudian kena Covid-19 atau tidak. Yang jelas saya memilih tetap mengenakan masker. Saat berbuka, saya berbelok di warung kecil untuk berbuka, bersama belasan orang lainnya.
Ramadhan tinggal sejengkal. Dan segala prasangka akan kekuasaan-Nya kadang merdeup. Covid-19 yang membunuh harapan. Pandemi yang membuat kita kehilangan segala keleluasaan.
Isaiah Berlin, filsuf Berlin abad ke-20 pernah membuat garis tegas antara antara kebebasan positif dan negatif. Kebebasan negatif adalah kebebasan dari pengaruh orang lain, sedangkan kebebasan positif adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu.
Baginya, kebebasan individual harus ditekankan, meskipun kadang-kadang ada konflik dengan kepentingan sosial.
Menurut saya, yang kadang bikin semrawut adalah definisi. Saat kita terjebak dalam definisi kolektif atau sosial, maka kita merasa bahwa kita kerap ketinggalan zaman, miskin, dan tak berdaya.
Definisi kekayaan, kesejahteraan, keberdayaan, kecantikan, dan lain-lain, mengalami pergeseran dengan cara diam-diam dan sering tak kita mengerti.
Sementara kita, sebagai mkhluk merdeka, sejatinya memiliki banyak keleluasaan. Termasuk untuk membuat definisi, agar langkah terasa lebih ringan. Tanpa ketakutan akan tertinggal, tanpa takut kehilangan banyak hal.
Seperti prasangka, yang kehadirannya membuat kita terbelenggu. Prasangka yang muncul karena definisi kolektif, yang mengantar batas kesadaran jadi sangat terbatas. Padahal dengan segala kemudahan-Nya kita mudah memahami, bahwa hidup tak sesulit itu.**