Bandar Lampung (pilar.id) – Pantai Sukaraja, Bandar Lampung, kini berbeda. Di tempat ini, kita akan leluasa melihat tumpukan sampah yang sungguh mengganggu pemandangan. Padahal pemerintah sudah mencanangkan roadmap pengurangan sampah yang tumpah ke laut hingga 70 persen pada 2030.
“Pemkot Bandar Lampung mengabaikan pengelolaan sampah sehingga menyebabkan menggunungnya timbulan sampah di Pantai Sukaraja,” ungkap Amiruddin Muttaqin, Koordinator Ekspedisi Sungai Nusantara, ekspedisi yang dilakukan oleh pegiat lingkungan dari Ecoton di 68 sungai di Indonesia.
Padahal, lanjut dia, menurut Undang-undang Pengelolaan sampah 18/2008 ditegaskan, pemerintah kota dan kabupaten harus menyediakan prasarana pengelolaan sampah dengan pengawasan dari pemerintah provinsi.
Tapi menurut Amiruddin, faktanya, tumpukan sampah muncul di sepanjang Pantai Sukaraja. “Ini mejelaskan jika Pemerintah Kota Bandar Lampung sudah mengabaikan amanat undang-undang,” tegasnya.
Dalam keterangannya Amiruddin menjelaskan, sumber sampah yang mereka temui berasal dari sungai-sungai dari Kota Bandar Lampung yang bermuara di Sukaraja.
”Timbunan sampah di Pantai Sukaraja menunjukkan tidak adanya layanan sampah yang baik oleh Pemkot Bandar Lampung,” sesalnya.
Dijelaskan pula, penduduk Indonesia setiap tahun menghasilkan 8 juta ton sampah plastik dan pemerintah hanya mampu mengelola 3 juta ton sampah plastik. Sementara 5 juta ton sampah plastik akan ditimbun, dibuang secara open dumping, dibakar, dan sekitar 2,6 juta ton lainnya dibuang di sungai.
“Maka tidak heran jika Indonesia menjadi negara penyumbang sampah plastik kelautan terbesar kedua setelah China,” ungkap Amiruddin lagi.
Tanggung Jawab
Dari temuan tim Ekspedisi Sungai Nusantara, sampah plastik yang ada di Pantai Sukaraja 60 persen lebih adalah sampah plastik tidak bermerk. Seperti tali nelayan, tas kresek, styrofoam, sandal, pakain bekas, alat nelayan, ember, ban, dan sampah karet atau beling.
Sementara 40 persen lainnya adalah sampah bermerk yang terdiri dari bungkus atau packaging makanan dan minuman, bungkus personal care seperti peralatan mandi, mencuci, hingga pembersih ruangan.
“Sampah plastik sachet makanan dan minuman mendominasi sampah plastik bermerk. Produsen besar sepeti Wings, Indofood, Unilever, Mayora, Ajinomoto, P&G, Unicharm dan Softex adalah brand-brand besar yang sampahnya paling sering dijumpai, dan produsen ini harus dimintai pertanggungjawaban agar ikut membersihkan sampah mereka yang memenuhi Pantai Sukaraja,” tegas Prigi Arisandi, Direktur eksekutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah Ecoton.
Ia menyebutkan, dalam Undang-undang Pengelolaan Sampah Nomor 18/2008, sampah ini harusnya menjadi tanggung jawab perusahaan.
Jumlah Ikan vs Sampah Plastik
Pada tahun 2050, diprediksi bahwa jumlah sampah plastik di lautan akan lebih banyak dibanding jumlah ikan. Melihat kondisi sampah plastik di Pantai Sukaraja, bisa jadi prediksi ini akan terealisasi lebih cepat.
“Sebelum 2050, jumlah sampah plastik di perairan pesisir Lampung akan lebih banyak dibandingkan ikan. Kita bisa lihat, bagaimana sampah plastik yang menempel di jaring nelayan Sukaraja saat ini lebih banyak dibandingkan jumlah ikan yang berhasil ditangkap,” ungkap Amiruddin lagi.
Untuk itu tim Ekspedisi Sungai Nusantara mendorong Pemkot Bandar Lampung untuk segera melakukan clean up atau pembersihan dan pengangkutan sampah di Pantai Sukaraja sebagai upaya jangka pendek. Sedangkan untuk jangka panjang, pemkot harus menyediakan sarana pengolahan sampah.
Selain itu juga memberikan pelayanan sampah yang mencakup semua penduduk Kota, mendorong produsen bertanggungjawab atas sampahnya, dan mengajak warga Bandar Lampung mengurangi penggunaan plastik sekali pakai seperti tas kresek, sedotan,sachetan, botol air minum, styrofoam dan popok.
“JIka dibiarkan, sampah plastik ini akan terpecah menjadi mikroplastik yang pada gilirannya akan dimakan ikan yang akan berakhir dalam perut manusia. Semua yang kita buang akan berakhir dalam perut kita, ” tandas Prigi Arisandi. (hdl)