Yogyakarta (pilar.id) – Rumahnya terletak di sebuah perkampungan padat dengan jalanan yang lebarnya tak lebih dari dua meter. Sehari-hari, Sumeidi, 67 tahun, sibuk mengetuk bongkahan tembaga berbentuk helm. Duduk sendirian di teras rumah, ditemani kicau merdu suara burung serta tembang suket teki almarhum Didi Kempot.
Mbah Meidi, begitu ia disapa, hari ini sedang mengerjakan sebuah pesanan yang datang dari pelanggan. Ia adalah generasi ketiga pengukir logam dari daerah Trunojayan, Kotagede, Yogyakarta, pekerjaan turun-temurun yang diwariskan oleh sang kakek ketika masih hidup.
Di usia senja, dengan segenap kesibukannya, Mbah Meidi hanya tinggal berdua bersama Niken, istrinya, perempuan yang ia nikahi 42 tahun lalu. “Saya mulai mandiri (mengukir) dari tahun 1980. Sebelumnya ikut-ikut orang dulu. Pertama, diajari sama bapak,” kenang Mbah Meidi.
Asyik menekuni pekerjaanya, ia tak lagi perduli pada kejayaan nama Kotagede di masa lampau. Menurutnya, perajin logam di Kotagede jumlahnya terus menurun tiap tahun. “Kotagede, tahun berapa itu sudah tinggal nama kok,” timpalnya.
Padahal dulu, kawasan ini dikenal sebagai pusat kerajinan logam, mulai dari tembaga, perak, bahkan emas. Nama kawasan ini juga tumbuh menyertai sejarah Mataram Islam 4 abad silam, saat berbagai jenis perhiasan dan cinderamata lahir di sini.
Kebutuhan kala itu, membuat para abdi dalem mengolah berbagai kerajinan logam di sekitar wilayah kerajaan. Seiring berjalannya waktu, kebiasaan tersebut membuat Kotagede yang dulunya merupakan daerah pusat kerajaan Mataram Islam berubah menjadi pusat kerajinan perak hingga saat ini.
Kini, setelah lebih dari 40 tahun Mbah Meidi bergelut dengan pekerjaannya, sudah ribuan ukiran ia ciptakan. Mulai dari ukiran terkecil berupa anting dan cincin, hingga yang terbesar gunungan wayang berukuran lebih kurang dua meter.
“Itu (gunungan wayang) dikirim ke Kalimantan, sekitar 4 tahunan lalu. Saya kasih harga Rp 20 jutaan,” ujar Sumeidi. Meski hasil yang didapatkan terlihat besar, menurut Mbah Meidi tak banyak lagi orang yang mau terlibat dalam proses kreatif tersebut.
Kini, kisah gemilang para pengrajin logam perlahan memudar. Tak banyak generasi yang mau meneruskan pekerjaan tersebut. Ketika ditanya apakah Mbah Meidi sudah menyiapkan generasi keempat pengukir logam selanjutnya, ia tertunduk lesu.
“Nggak ada, (sudah) putus ini. Sayang,” bisiknyapelan. Kedua anaknya yang telah dewasa kini sudah berkeluarga. Mereka memilih merantau dan tak lagi mengikuti jejak Mbah Meidi sebagai pengukir segala jenis logam.
Saat waktu berlalu, ia pun kembali duduk menekuni pekerjaannya. Mengetuk bongkahan tembaga, sendirian di teras rumah, dan ditemani kicau merdu suara burung. (fir/hdl)