Bantul (pilar.id) – Desa Kemusuk menjadi sasaran amukan pasukan Belanda pasca mengetahui tindakan serangan malam hari yang dilakukan pertama kali pada 29 Desember 1948 dipimpin oleh Letnan Kolonel (Letkol) Soeharto sebagai Komandan Wehrkreise III/ Brigade X.
Terhitung terdapat lima kali serangan yang dikomando Letkol Soeharto antaranya berlangsung pada 29 Desember 1948, 9 Januari 1949, 16 Januari 1949 dan 4 Februari 1949 serta satu serangan siang hari pada 1 Maret 1949.
Setelah mengetahui Desa Kemusuk yang berada di Kalurahan Argomulyo, Kapanewon Sedayu, Kabupaten Bantul dimana menjadi tempat kelahiran Letkol Soeharto, pada 7-8 Januari 1949 untuk pertama kali Belanda mulai mendatangkan para intel dan para pasukan untuk memburu keberadaan Soeharto.
Pada pencarian tersebut menewaskan 23 warga Dusun Kemusuk, termasuk ayah angkat Letkol Soeharto. Kemudian, pada 9 Januari 1949 pasukan Soeharto kembali melancarkan aksi serangan umum malam hari kedua.
Setelah itu, diikuti dengan serangan malam hari ketiga dan keempat pada 17 Januari dan 4 Februari 1949. Kemudian berujung pada serangan siang hari kelima, yakni Serangan Umum 1 Maret 1949 atau yang disebut peristiwa enam jam di Yogyakarta.
Serangan tersebut bergerak dari sektor barat sampai ke batas Malioboro pos-pos tentara Belanda yang berada di sekitar Kantor Pos Besar, Secodiningratan, Ngabean, Patuk, Sentul, dan Pengok. Selain itu juga mengkonsolidasi pasukan TNI dengan membagi dalam empat sektor. Kejadian ini cukup memakan korban jiwa dan kerusakan pos tentara Belanda.
Karena jejak Soerharto tak kunjung diketahui, pada 18 Maret 1949 serdadu Belanda pun mulai melakukan serangan balasan dengan menembaki dan membantai semua pria baik penduduk sipil maupun TNI serta membakar rumah-rumah penyimpanan jerami yang ada di Desa Kemusuk dan sekitarnya.
Cara ini disebut-sebut menjadi siasat termudah untuk menangkap tokoh TNI dengan melakukan intimidasi, penyiksaan, bahkan pembunuhan pada keluarga dan handai tolan tokoh TNI tersebut agar terdesak dan menunjukkan keberadaanya.
Tragisnya, tiap selesai menembak semua kaum pria, jasadnya langsung dilempar ke api yang berkobar. Desa Kemusuk berubah menjadi ladang pembantaian, setidaknya lebih dari 200 orang meninggal dalam tragedi tersebut. (riz/hdl)