Jakarta (pilar.id) – Menanggapi dampak Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) lingkup privat Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, disusul pemblokiran sejumlah platform digital, Aliansi Jurnalis Independen mengaku menerima keluhan dari beberapa jurnalis yang tidak bisa mengakses pendapatan mereka di Paypal.
Meski saat ini sudah bisa diakses, platform keuangan tersebut direncanakan akan kembali diblokir dalam waktu yang telah ditentukan.
AJI menilai, selama ini beberapa jurnalis atau media di Indonesia mengandalkan Paypal untuk menerima honor dari karya jurnalistik mereka.
Untuk itu, AJI dan LBH Pers yang berfokus pada isu kebebasan pers dan kesejahteraan jurnalis, membuka pengaduan bagi jurnalis dan pengelola media yang menerima dampak, pertama, situs media yang terkena pemblokiran. Dua, jurnalis atau pengelola media yang tidak bisa mengakses pendapatan atau penghasilan dari aplikasi Paypal.
Baik AJI maupun LBH Pers tetap merahasiakan data pribadi pelapor. Sementara data pengaduan akan digunakan AJI dan LBH Pers sebagai bahan advokasi kebijakan. Untuk pengaduan, Anda bisa menggunakan link Pengaduan Dampak Blokir.
Sebelumnya, lebih dari 11 ribu Netizen atau warganet Indonesia bersikap tegas menolak penerapan Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Lingkup Privat dan amandemennya Permenkominfo No. 10 tahun 2021.
Karena penerapan regulasi ini dinilai mengancam hak warganet untuk bebas berekspresi dan menjaga privasi. Netizen juga menilai regulasi Permenkominfo yang mewajibkan platform digital untuk menghapus konten yang diminta Kominfo atau penegak hukum dalam waktu 1 x 24 jam dan 4 jam untuk permintaan penghapusan ‘mendesak’ akan rentan disalahgunakan negara dengan sasaran warga yang sebenarnya mengangkat problem nyata seputar diskriminasi, korupsi, pelanggaran hak asasi, atau situasi yang terjadi di Papua.
Regulasi ini juga akan mendorong praktek sensor konten oleh Platform Digital yang jelas menyalahi “Prinsip-Prinsip Manila Tentang Tanggungjawab Perantara” (https://manilaprinciples.org/index.html) bahwa perantara internet seperti platform digital tidak boleh secara proaktif memantau konten.
Dikutip dari laman Facebook AJI, netizen disebut mengkritik diwajibkannya pemberian akses bagi kementerian dan aparat penegak hukum oleh Platform Digital pada sistem dan data pengguna.
Dibolehkannya membuka percakapan komunikasi privat merupakan ancaman bagi privasi warganet. Padahal teramat jelas konstitusi Indonesia mengatur perlindungan diri pribadi warga dan juga kebebasan berekspresi.
Sejak Jumat (22/7/2022), Koalisi Advokasi Permenkominfo 5 bersama elemen masyarakat dan mahasiwa bergerak untuk menyampaikan kekecewaan dan kritik dengan melakukan aksi protes #BlokirKominfo di depan kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika di Jakarta.
Aksi protes ini berupa penyampaian pendapat dari koalisi dan elemen masyarakat serta mahasiswa, lalu dilanjutkan dengan serangkaian aksi simbolis, yang berupa penggembokan pagar Kominfo, pemasangan papan duka cita, dan pembentangan surat protes netizen di depan pagar kantor Kominfo.
Koalisi Advokasi Permenkominfo 5 berharap aksi protes ini akan menunjukkan kepada Kominfo dan masyarakat luas bahwa, sekalipun platform digital sudah bersedia melakukan registrasi PSE per 20 Juli 2022, namun masalah yang ditimbulkan oleh Permenkominfo 5 pada penyempitan ruang demokrasi di Indonesia belum selesai.
Hanya ada satu cara untuk memperbaikinya yakni dengan mencabut pasal-pasal berbahaya bagi demokrasi dan privasi di Permenkominfo Nomer 5 Tahun 2020. (hdl)