Jakarta (pilar.id) – Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), mendorong negara-negara yang rawan tsunami untuk mempercepat terbentuknya Tsunami Ready Community. Langkah ini dianggap sebagai strategi efektif untuk mengurangi risiko tsunami, khususnya dalam meminimalkan jumlah korban.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Dwikorita dalam forum The Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP) Disaster Resilience Week and the Corresponding 8th Session of the Committee on Disaster Risk Reduction yang berlangsung dari tanggal 24-25 Juli 2023 di Bangkok. Acara ini diselenggarakan oleh ESCAP, UNESCO-Intergovernmental Oceanographic Commission (UNESCO-IOC), dan World Meteorological Organization (WMO).
“Tsunami Aceh 2004, tsunami Samoa 2009, tsunami Chili 2010, dan tsunami Tohoku Jepang 2011 menjadi bukti nyata bahwa ancaman tsunami ini harus diwaspadai. Negara-negara rawan tsunami perlu mempersiapkan masyarakat di wilayah pesisir untuk menghadapi bencana ini dengan siap dan cermat,” ungkap Dwikorita yang mengikuti acara secara daring melalui Zoom.
Dwikorita, yang juga menjabat sebagai Chair of Intergovernmental Coordination Group for Indian Ocean Tsunami Warning and Mitigation System (Chair ICG/IOTWMS), menjelaskan bahwa Tsunami Ready Community adalah program yang bertujuan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi ancaman tsunami dengan berbasis pada 12 indikator terkait penilaian potensi bahaya, kesiapsiagaan, dan respon yang telah ditetapkan oleh UNESCO-IOC. Program ini bertujuan untuk memastikan masyarakat selalu siap dalam menghadapi gempa bumi dan tsunami.
Dwikorita menekankan bahwa predikat Tsunami Ready Community akan tercapai apabila semua pihak terlibat berkolaborasi dan bersinergi sehingga 12 indikator yang telah ditetapkan dapat terpenuhi dengan baik. Beberapa indikator tersebut meliputi pemetaan dan perancangan zona bahaya tsunami, estimasi jumlah orang yang berisiko di zona bahaya, identifikasi sumber ekonomi, infrastruktur, dan politik yang terdampak, serta penyusunan peta evakuasi tsunami yang mudah dipahami.
Selain itu, informasi tentang tsunami dan rambu-rambu keselamatan harus dapat diakses oleh publik, adanya sosialisasi, kesadaran, dan edukasi tentang tsunami, minimal diselenggarakan tiga kali dalam setahun. Pelatihan bagi dan oleh Komunitas Tsunami juga diadakan minimal dua kali dalam setahun. Selain itu, harus tersedia rencana kontijensi atau respons darurat yang disusun oleh komunitas di daerah rawan tsunami, serta kapasitas pengelolaan operasional respons darurat saat tsunami terjadi.
Menurut Dwikorita, diperlukan keterlibatan aktif dari semua elemen masyarakat untuk mempercepat terbentuknya Tsunami Ready Community. Hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga melibatkan pihak swasta, akademisi, dan komunitas, termasuk media.
Lebih lanjut, Dwikorita menyampaikan bahwa ICG/IOTWMS yang dipimpinnya telah mendukung dan berperan aktif dalam program tsunami ready yang diusung oleh UNESCO-IOC, sebagai bagian dari dukungan dalam mewujudkan SAFE OCEAN melalui program UN Decade on Ocean Science. Saat ini, di wilayah Samudra Hindia terdapat 11 komunitas, di mana 9 di antaranya berasal dari Indonesia dan 2 lainnya dari India, telah mendapatkan pengakuan dari UNESCO sebagai Tsunami Ready Community.
Salah satu komunitas yang telah mendapatkan pengakuan sebagai Tsunami Ready Community adalah Desa Tanjung Benoa di Bali. Pengukuhan Tanjung Benoa dilaksanakan pada momen pertemuan Global Platform on Disaster Risk Reduction (GPDRR) pada Mei 2022 sebagai langkah untuk mempromosikan dan menggiatkan program tersebut.
“Tsunami Ready bukan hanya bisa diimplementasikan di sektor pariwisata, tetapi juga di sektor infrastruktur kritis seperti bandara dan pelabuhan, dengan melibatkan pengelola dan partisipasi aktif dari masyarakat dan Pemerintah Daerah setempat,” tambahnya.
Dalam kesempatan tersebut, Dwikorita juga menyampaikan bahwa ada beberapa kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi untuk memperkuat sistem peringatan dini dan mitigasi tsunami. Pertama, diperlukan observasi sistematis dan pengukuran standar untuk peringatan dini. Oleh karena itu, penting untuk mengintegrasikan semua alat seismik dan observasi ke dalam jaringan yang komprehensif.
Kedua, perlu adanya inovasi ilmiah untuk mengatasi tsunami yang bukan disebabkan oleh gempa bumi. Ketiga, pertukaran data antar institusi harus terjadi secara efektif. Kejadian tsunami di Selat Sunda menyoroti pentingnya memasukkan data aktivitas gunung berapi ke dalam sistem peringatan dini tsunami. Fakta bahwa gunung berapi dapat memicu tsunami menuntut kesiapan yang komprehensif.
Dan terakhir, pentingnya kesiapan komunitas masyarakat. Untuk meningkatkan tindakan dan kesiapsiagaan dini, informasi yang komprehensif dan mudah dipahami, serta program pendidikan tentang bencana, sangatlah krusial. (hdl)