Jakarta (pilar.id) – Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kembali mendengungkan rencana kenaikan harga Pertalite dan Solar pekan depan. Banyak pihak yang menilai rencana tersebut bukan momentum yang pas diterapkan dalam waktu dekat.
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, memaklumi rencana kenaikan harga Pertalite dan Solar kendati menilai menaikkan BBM subsidi saat ini bukan momentum yang tepat.
Menurut Fahmy, pemerintah sedang dilema karena kalau BBM subsidi tidak dinaikan maka APBN akan bengkak, bahkan bisa mencapai lebih dari Rp600 triliun.
Namun demikian, jika harga Pertalite dan Solar dinaikan dalam waktu dekat ini maka akan memberikan dampak signifikan terhadap perekenomian Indonesian, terutama untuk angka inflasi.
Andaikan harga Pertalite menjadi Rp10.000 per liter, maka akan memunculkan menimbulkan 0,93 persen. Kalau inflasi berjalan saat ini, khususnya di sektor makanan itu 5 persen, maka total inflasi Indonesia bisa mencapai 6-7 persen.
Kalau sudah demikian, lanjut Fahmy, tingginya inflasi akan memperburuk daya beli masyarakat yang menurunkan konsumsi masyarakat. Pada akhirnya, akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi yang sudah mencapai 5,4 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih rendah lagi.
Oleh sebab itu, menaikan harga BBM subsidi tidak sesederhana yang dipikirkan. Menurutnya, saya saat ini atau pekan depan itu bukan momentum tepat untuk menaikan harga Pertalite dan Solar karena akan memengaruhi perekonomian secara keseluruhan.
“Kurang tepat kenaikan harga BBM subsidi jika dilakukan pekan depan,” tegas Fahmy melalui sambungan telepon kepada pilar.id, Sabtu (20/8/2022).
Menurut dia, yang harus dilakukan pemerintah bukan menaikan harga Pertalite atau Solar, melainkan melakukan pembatasan secara tegas dan lugas terhadap penyaluran BBM subsidi. Dengan begitu, sekitar 60 persen penyaluran subsidi yang tidak tepat sasaran bisa teratasi. Ujungnya, langkah ini akan menyelamatkan APBN.
Dia menjabarkan, ada tiga langkah pembatasan yang bisa diambil pemerintah. Pertama menggunakan aplikasi MyPertamina. Kedua, membatasi penggunaan BBM subsidi hanya untuk motor dan angkutan umum. Ketiga, mengkhususkan BBM subsidi hanya untuk penerima bantuan sosial (bansos).
Dari ketiga langkah tersebut, menurut Fahmy, tang paling layak diterapkan yakni cara kedua dengan membatasi penggunaan BBM subsidi hanya untuk motor dan angkutan umum.
Sebab kalau membatasi dengan menggunakan aplikasi MyPertamina, justru malah menimbulkan ketidaktepatan sasaran karena kriteria yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi tidak masuk akal yakni mobil 1.500 cc masih boleh mengisi Pertalite atau solar. Padahal, banyak mobil 1.500 cc ke bawah adalah mobil mewah.
Lalu cara pembatasan penggunaan Pertalite dan Solar dengan saya bansos juga kurang tepat. Karena selama ini data bansos di Indonesia tidak up-to-date.
“Jadi menurut saya, segera pemerintah tetapkan peraturan pembatasan penggunaan BBM subsidi dengan merevisi Perpres, tidak perlu dengan cara yang selalu berubah-ubah. Tinggal lakukan pengawasan di SPBU supaya tidak terjadi moral hazart,” tegasnya. (her/din)