Surabaya (pilar.id) – Nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS menyentuh level Rp 15 ribu. Bagi mereka yang pernah merasakan gelombang krisis moneter yang mengakibatkan runtuhnya ekonomi Indonesia seperti yang terjadi pada Sri Lanka, kondisi ini tentu membangkitkan kekhawatiran tersendiri.
Meski demikian, pakar ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair), Dr Imron Mawardi SP MSi mengatakan, masyarakat Indonesia tidak perlu panik.
Karena masih banyaknya faktor penunjang yang membuat perekonomian indonesia tetap kuat di tengah melemahnya rupiah terhadap Dollar AS.
“Kalau menurut saya angka (1 Dollar AS, red) ke Rp 15 ribu rupiah ya ini hanya soal keseimbangan saja. Saya kira tidak perlu dikhawatirkan, karena di sisi yang lain kita memiliki cadangan devisa yang besar,” ujar Imron, Rabu (13/7/2022).
Meski rupiah melemah, lanjutnya, masih harus bersyukur karena saat ini cadangan devisa Indonesia sangat besar, yakni mencapai 150 miliar Dollar AS sehingga masih aman untuk belanja impor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Kondisi itu, jelasnya, tentu berbeda jauh dengan negara Sri Lanka yang hanya memiliki cadangan devisa 50 juta Dollar AS sehingga negara tidak mampu mengimpor kebutuhan. Sekalipun itu kebutuhan pokok seperti Bahan Bakar Minyak (BBM).
“Dengan adanya cadangan yang besar ini pun, ternyata masih membuat rupiah kita menyentuh angka Rp 15 ribu, tidak bisa dibayangkan kalau ketahanan devisa kita itu rendah maka dipastikan Dollar AS akan jatuh lebih dalam dibanding keadaan saat ini,” paparnya.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unair itu kemudian mengungkap alasan mengapa rupiah tertekan terhadap dolar AS. Menurutnya, faktor terbesar bersumber dari perang antara Ukraina dengan Rusia hingga menyebabkan inflasi tinggi di Amerika Serikat.
“Inflasi di bulan lalu mencapai 8,6 persen, artinya year on year mencapai 8,6 persen dan itu inflasi (AS) tertinggi sejak tahun 1981. Ya ini merupakan salah satu dampak dari perang Ukraina juga,” ujar Imron.
Perang Rusia dan Ukraina, sambungnya, membuat terganggunya impor pasokan kebutuhan dalam negeri ke AS. Hal itu, menyebabkan harga-harga komoditas baik pangan maupun energi menjadi naik dan inflasi di AS pun tidak dapat dihindarkan.
“The Fed (Bank sentral AS) berusaha menahan itu (inflasi, red) dengan menaikan tingkat bunga, sehingga waktu itu tingkat bunga naik 0,25 persen yang kemudian dilanjutkan dengan 0,75 persen sehingga menjadi satu persen dan itu termasuk tingkat bunga yang sangat tinggi,” ucapnya.
Kenaikan tingkat bunga, lanjutnya, tentu memicu dolar yang berada di luar negeri untuk ditarik ke negara asal. Ketika dana tersebut ditarik, maka harus mengkonversi ke dolar yang membuat permintaan terhadap dollar tinggi dan harga dollar semakin menguat.
“Dengan naiknya inflasi di amerika kemudian diikuti kenaikan suku bunga di Amerika maka ada keyakinan bahwa investasi di sana (AS, red) lebih berprospek, sehingga banyak dana-dana dari Amerika yang ada di luar kemudian ditarik,” tutupnya. (hdl)