Jakarta (pilar.id) – Saat itu, 22 Februari 1997, dunia dikejutkan dengan munculnya domba bernama Dolly. Kehadirannya langsung menarik perhatian banyak orang sekaligus memicu perdebatan di seluruh dunia.
Satu sisi, ya, penemuan ini sangat memukau. Bagaiman teknologi, akhirnya mampu melakukan kloning, proses reproduksi aseksual yang menghasilkan individu atau organisme baru dengan genom yang identik atau hampir identik dengan individu atau organisme yang telah ada sebelumnya.
Para ahli kemudian membuat rumusan, dalam kloning, DNA atau materi genetik diambil dari individu yang akan dikloning dan dimasukkan ke dalam sel telur yang telah diambil inti selnya atau dibuat kosong. Sel telur tersebut kemudian dibiakkan secara in vitro untuk membentuk embrio yang kemudian diimplantasikan ke dalam uterus atau dibiakkan kembali untuk menghasilkan klon baru.
Kekaguman itu, pada saat bersamaan, juga dibarengi dengan rasa cemas. Kelompok ini rata-rata menyoal implikasi etis dan moral dari kloning hewan, dan kemungkinan kloning manusia.
Di Amerika Serikat, banyak kelompok aktivis dan organisasi hewan mengkritik penemuan ini dan meminta pembatasan pada penelitian kloning hewan. Di Inggris, kloning domba Dolly juga memicu debat politik dan publik yang serupa.
Beberapa negara melarang kloning hewan untuk tujuan reproduksi. Sebagian lagi, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang, mengizinkan kloning untuk tujuan penelitian.
Beberapa negara di dunia yang melarang atau membatasi kloning saat itu antara lain Jerman, pada tahun 2002, yang melarang semua bentuk kloning manusia dan hewan.
Lalu Australia, pada tahun 2002, parlemennya melarang kloning manusia dan hewan, termasuk kloning terapeutik dan reproduktif.
Di Spanyol, pada tahun 2003, melarang kloning manusia dan hewan, termasuk kloning terapeutik dan reproduktif. Lalu Prancis, pada tahun 2004, melarang semua bentuk kloning manusia dan hewan.
Italia, tahun 2004, melarang semua bentuk kloning manusia dan hewan. Inggris, memilih memperbolehkan kloning terapeutik, tetapi melarang kloning reproduktif.
Sementara Amerika Serikat, pada tahun 2001, Presiden AS George W. Bush sampai merasa perlu bersuara lantang melarang penggunaan dana federal untuk penelitian kloning manusia dan membatasi kloning terapeutik.
Pada saat bersamaan, beberapa organisasi hak asasi hewan, seperti PETA (People for the Ethical Treatment of Animals) dan HSUS (Humane Society of the United States), adalah kelompok yang paling keras menentang kloning hewan.
Mereka bahkan memandang bahwa kloning hewan merupakan bentuk eksploitasi terhadap hewan dan berpotensi menimbulkan penderitaan dan penyiksaan.
Di kalangan ilmuwan, beberapa peneliti dan ahli biologi juga menentang kloning hewan karena mereka merasa bahwa teknologi kloning yang masih sangat baru dan belum teruji sepenuhnya dapat menimbulkan risiko yang tidak diketahui terhadap kesehatan dan kesejahteraan hewan.
Namun, di sisi lain, ada juga kelompok dan individu yang mendukung kloning, terutama dalam konteks penelitian medis dan pengembangan obat-obatan. Mereka berpendapat bahwa kloning dapat membantu mengembangkan terapi yang lebih baik dan mungkin membuka pintu bagi terapi regeneratif yang inovatif dan efektif.
Sinema yang Kebabalasan
Film-film dengan tema kloning memang telah banyak diproduksi, dan beberapa dari film tersebut mungkin terkesan mengada-ada karena menggambarkan situasi atau teknologi kloning yang sangat tidak realistis atau dibumbui dengan elemen fiksi dan fantasi.
Namun, sebagian besar film dengan tema kloning memiliki dasar ilmiah yang kuat dan mengambil inspirasi dari kemajuan dan penelitian yang telah dilakukan dalam bidang kloning dan bioteknologi. Beberapa film bahkan mengambil inspirasi dari kloning hewan yang pernah dilakukan sebelumnya, seperti kloning domba Dolly.
Selain itu, film sering digunakan sebagai media untuk mempertanyakan implikasi etis dan moral dari kloning hewan dan manusia, dan memperdebatkan manfaat dan risiko yang terkait dengan teknologi ini. Beberapa film dengan tema kloning seperti Gattaca dan The Island bahkan membawa isu kloning ke level yang lebih luas, membahas isu-isu seperti eugenika dan kontrol populasi.
Meskipun beberapa film dengan tema kloning mungkin terkesan mengada-ada, banyak film tersebut sebenarnya mempertanyakan isu-isu yang kompleks dan penting dalam bidang bioteknologi dan ilmu pengetahuan, dan dapat memberikan wawasan dan pemahaman yang lebih dalam tentang topik ini.
Lalu pertanyaan itu muncul. Problem kloning itu sebetulnya pada sisi apa? Etika? Atau yang lain? Kloning adalah topik yang sangat kompleks dan kontroversial karena melibatkan banyak masalah dan risiko yang terkait dengan etika, sains, dan hukum.
Pada sisi etika, kloning sering menimbulkan pertanyaan tentang apakah manusia memiliki hak untuk menciptakan kehidupan secara artifisial, dan apakah kloning hewan atau manusia dapat dipandang sebagai bentuk eksploitasi atau penyalahgunaan terhadap makhluk hidup.
Di sisi sains, kloning melibatkan risiko dan tantangan teknis yang signifikan. Metode kloning masih belum sepenuhnya teruji dan dapat menimbulkan masalah dalam kesehatan hewan yang dikloning, seperti kelainan genetik atau masalah reproduksi. Selain itu, kloning manusia dapat memicu masalah etis dan bahkan membahayakan kesehatan dan kesejahteraan individu yang dikloning.
Di sisi hukum, banyak negara telah membuat peraturan yang mengatur kloning hewan dan manusia, tetapi masih banyak ketidakpastian tentang bagaimana regulasi kloning seharusnya diterapkan dan apa implikasi hukumnya terhadap individu yang terlibat dalam proses kloning. (hdl)