Surabaya (pilar.id) – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kota Surabaya mengungkapkan sejumlah faktor yang dapat memicu terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Faktor-faktor tersebut melibatkan aspek individual, sosial, dan hukum.
Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) DP3A-PPKB Kota Surabaya, Thussy Apriliyandari, menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan masalah sosial yang kompleks dan melibatkan banyak faktor. Pertama, faktor individual dapat dipicu oleh lingkungan keluarga yang tidak harmonis, di mana pelaku dan korban seringkali tumbuh di lingkungan yang menganggap kekerasan sebagai sesuatu yang wajar.
“Pelaku seringkali tidak menyadari bahwa tindakan kekerasan yang mereka lakukan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan dianggap sebagai hal yang wajar,” paparnya.
Thussy juga menyebut kurangnya kesadaran pelaku terhadap dampak kekerasan yang mereka lakukan. Banyak pelaku tidak menyadari bahwa tindakan tersebut dapat menyakiti atau merugikan korban, termasuk anak kandung mereka sendiri.
“Ketidaksetujuan ini dapat berasal dari karakter pelaku yang keras, agresif, impulsif, egois, dan tidak sabaran. Rantai kekerasan yang tidak terputus juga dapat menjadi penyebab,” tambahnya.
Selanjutnya, faktor sosial budaya patriarki juga menjadi pemicu kekerasan. Dalam beberapa kasus, budaya ini menempatkan laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai inferior, tidak mengakui kesetaraan gender, dan melegitimasi kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai sesuatu yang wajar.
“Selain itu, pengaruh media massa, media sosial, dan gadget juga dapat memicu terjadinya kekerasan,” ungkap Thussy.
Dalam konteks hukum, kurangnya kesadaran terhadap undang-undang perlindungan perempuan dan anak di Indonesia juga dapat memicu terjadinya kekerasan. Meskipun undang-undang tersebut sudah ada, pelaku sering tidak memahami konsekuensi hukum dari tindakan kekerasan yang dilakukan.
“Faktor hukum melibatkan pemahaman masyarakat dan pelaku terhadap undang-undang perlindungan. Mereka tidak menyadari konsekuensi hukum dari perbuatan mereka,” jelas Thussy.
Dalam rangka mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak, Thussy menekankan pentingnya peran lingkungan keluarga. Baik orang tua maupun anak, diimbau untuk kembali memegang teguh ajaran agama masing-masing sebagai landasan moral.
“Tidak ada agama yang mengajarkan tentang kekerasan terhadap keluarga, khususnya perempuan dan anak. Selain itu, faktor ekonomi juga menjadi salah satu pemicu utama,” pungkasnya. (rio/hdl)