Jakarta (pilar.id) – Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan, subsidi diperlukan untuk mengurangi beban biaya yang ditanggung masyarakat agar daya beli mereka terjaga. Namun, subsidi tidak akan bermanfaat jika diberikan tidak tepat sasaran.
“Daya beli yang dibantu siapa? Masyarakat menengah ke bawah kan. Tapi dalam kerangka subsidi ini ternyata for all, buat semua. Semua dapat,” ujar Tauhid, di Jakarta, Kamis (6/2/2022).
Ia mencontohkan, subsidi energi untuk jenis pertalite. Pengguna bahan bakar minyak (BBM) jenis ini ternyata bukan hanya kalangan masyarakat menengah ke bawah.
“Masyarakat ke atas juga ada, ya nanti mobil juga bisa dapat (subsidi) tuh. Di pom bensin, beli pertalite berarti beli BBM bersubsidi,” kata Tauhid.
Padahal, pemerintah sebelumnya meminta tambahan anggaran untuk mensubsidi masyarakat bawah. Tak hanya itu, pemerintah juga berencana memangkas anggaran kementerian/ lembaga (K/L) sebesar Rp24,5 triliun.
Kebijakan tersebut dilakukan untuk mengantisipasi lonjakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan menurunnya penerimaan karena pelemahan ekonomi. Menurut Tauhid, kebijakan tersebut kurang tepat karena dapat mengganggu kinerja K/L.
“Kasihan kementerian/ lembaga yang mempunyai program prioritas, yang sudah disiapkan,” ungkap Tauhid.
Di sisi lain, terjadi paradoks dengan adanya potensi sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) pada tahun anggaran 2022 sebesar Rp140-an triliun. Artinya, pemerintah mengalami problem di spending.
“Ada belanja yang tidak habis, apakah di subsidinya, atau di kementerian/ lembaga sendiri ataupun transfer dana daerah. Ini ada paradoks, dipotongin tapi nggak habis,” tutur Tauhid.
Menurut Tuahid ada tiga sumber yang bisa dijadikan bantalan untuk subsidi. Pertama dari windfall akibat kenaikan harga komoditas, baik BBM, sawit, maupun batubara yang masuk ke penerimaan negara.
Sumber kedua memang dari efisiensi anggaran, yaitu dengan memotong anggaran kementerian/ lembaga. “Jadi ada dua sumber itu yang ditambahkan, Selisihnya kalau di paparan Rp200-an triliun. Nah itu yang jadi sumbernya di situ,” terangnya.
Sumber ketiga adalah dengan menambah utang baru. Namun, dengan situasi Covid-19 yang mereda, serta tidak ada krisis energi dan pangan, seharusnya penambahan defisitnya tidak sampai 4,5 persen. “Tapi karena harus subsidi ditambah, ya otomatis nambah utangnya ya diambil lagi,” pungkasnya. (Ach/din)