Jakarta (pilar.id) – Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia, Dicky Budiman, mengatakan, pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden bahwa pandemi sudah berakhir itu bersifat pribadi yang belum memiliki dasar kuat secara indikator pandemi.
Dicky menegaskan, pandemi covid-19 adalah wabah dunia yang menimpa semua negara dan semua wilayah di seluruh dunia. Maka, akhir pandemi tidak bisa ditentukan oleh satu negara, meskipun negara besar seperti AS. Karena pada dasarnya dampak dari pandemi bukan hanya pada AS, tapi kepada seluruh negara.
“Dan AS adalah salah satu negara yang terburuk terdampak pandemi covid-19,” kata Dicky di Jakarta, Rabu (21/9/2022).
Oleh sebab itu, ia setuju dengan pernyataan Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa Indonesia harus tetap hati-hati menghadapi pandemi. Sebab, meskipun situasi saat ini sudah membaik, namun kewaspadaan atau kehati-hatian dalam menghadapi pagebluk tetap harus menjadi prioritas.
Dicky mengamini bahwa situasi saat ini kita sudah dalam masa transisi dan berada di jalur yang tepat untuk menuju pada satu fase akhir pandemi covid-19. Artinya, modal imunitas atau cakupan vaksinasi dosis kedua dan ketiga sudah berada di atas dari 70 persen.
Tingkat imunitas yang sudah mencapai di atas 70 persen membuat tren angka keparahan orang masuk rumah sakit maupun tingkat kematian sangat signifikan menurun.
“Tentunya harus disadari bahwa kita bukan mau menuju endemi. Karena endemi itu enggak aman. Endemi itu tidak baik, endemi itu justru berbahaya,” tegasnya.
Pleh karenanya, yang harus dituju Indonesia saat ini adalah status terkendali. Serangkaian kriteria yang ada, mulai dari vaksinasi, kemampuan mendeteksi, pengawasan (surveillance) ataupun 3T (testing, tracing, dan teranteng). Jangan lupa, kata dia, bahwa aspek penguatan sistem kesehatan ini sangat penting.
Karena jika bicara merespons pandemi atau keluar dari situasi krisis, lanjut Dicky, modal utamanya ada pada penguatan sistem kesehatan. Sistem kesehatan di Indonesia bukan hanya bisa mendeteksi tapi merespons virus. Mulai dari bagaimana kalau ada kasus hingga penentuan sistem rujukan.
Di satu sisi, gambaran suatu negara sudah keluar dari satu krisis adalah menghilangnya stigma soal penyakit itu sendiri. Sistem kesehatan yang baik membuat orang yang sakit tidak takut ke rumah sakit, tidak takut kehabisan obat, hingga tidak takut kehabisan tempat tidur.
“Itu dia namanya sistem kesehatan yang baik. Orang tidak takut lagi mengalami fatalitas ketika terjangkit virus,” ujarnya.
Sistem kesehatan yang baik justru harus dituju oleh Indonesia, bukan malah berlomba-lomba mengklaim bahwa pandemi sudah berakhir. Sebab, kondisi pandemi covid-19 di dunia belum bisa dikatakan memasuki fase aman dan terkendali.
Pasalnya, obat covid-19 masih jadi isu yang belum tuntas dibahas. Lalu bicara soal durasi vaksin yang tingkat proteksinya masih sangat singkat, walaupun efektif mencegah fatalitas dan keparahan penderita covid-19. Hingga kini, vaksin belum bisa mencegah potensi penularan.
“Jadi itu (sistem kesehatan) yang mesti harus dituju. Bahwa semuanya ini sudah sesuai jalur iya, tapi kalau kita abai, kalau kita akhirnya merasa sudah menang, bahkan menyatakan pandemi sudah berakhir tapi padahal belum,” tegasnya.
Dicky bilang, kalau Indonesia abai terhadap situasi pandemi covid-19 maka itu hanya bisa membuat situasi kembali memburuk. Tingkat kematian bisa kembali tinggi dan perubahan karakter dari varian covid-19 bisa kembali terjadi dan bakal lebih merugikan. Ujungnya dapat menurunkan efikasi vaksin atau antibodi masyarakat.
“Jika demikian, yang menjadi korban adalah orang-orang rentan di sekitar kita, yakni kelompok lanjut usia (lansia),” kata dia. (her/din)