Jakarta (pilar.id) – Seorang ibu paruh baya terdengar menggerutu di depan rak berisikan minyak goreng. Ya, harga minyak goreng sudah berbulan-bulan mengalami kenaikan. Menghadapi lonjakan harga minyak goreng, Kementerian Dalam Negeri (Kemendag) telah menyiapkan intervensi.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), mengungkap, hingga Natal dan tahun baru 2022 (Nataru), intervensi Kemendag adalah menyediakan kemasan sederhana minyak goreng sebanyak 11 juta liter seharga Rp14.000 per liternya.
“Intervensi sudah mulai berjalan dan bertahap karena harus diproduksi dan didistribusikan. Harga minyak goreng Rp14.000 sudah berjalan di beberapa kota besar di Jawa dan Sumatera. Tentunya kita akan memonitor perkembangan lebih lanjut di lapangan,” kata Oke kepada Pilar.id, Kamis (2/12/2021).
Sayangnya, intervensi yang dilakukan Kemendag hanya menyasar toko ritel. Sementara pasar tradisional, belum dialirkan minyak goreng berharga murah itu.
Sementara itu, ia memprediksi harga minyak goreng diprediksi semakin meroket hingga kuartal I 2022 atau Maret 2022. Ia menyebut, ada dua penyebab tingginya harga minyak goreng di pasaran belakangan ini. Oke mengatakan, dua penyebab itu antara lain lantaran faktor global dan faktor di dalam negeri.
Kata dia, faktor pertama ialah bahan baku. Dengan begitu, persoalan harga minyak goreng bukan hanya terjadi di Indonesia, ini merupakan gejolak global karena pasokan minyak nabati dunia menurun.
Berdasarkan pantauan Kemendag, harga minyak goreng curah berada di kisaran Rp 17.000 per liter, sementara minyak goreng dalam kemasan di kisaran Rp 17.500 per liter. Tapi di banyak tempat harga minyak goreng masih di atas yang disebut pemerintah tersebut.
Pilar.id memantau langsung ke lapangan untuk mengecek harga minyak goreng secara riil. Di salah satu toko ritel di Kota Tangerang terlihat bahwa harga minyak kemasan Rp19.500 per liter. Sementara di pasar tradisional, minyak goreng curah dibandrol Rp18.000-Rp20.000 per liter.
Adapun, Oke mengatakan melonjaknya harga minyak sawit mentah atau CPO disebabkan oleh turunnya produksi di Malaysia sekitar 8 persen. Ia memperkirakan penurunan produksi juga bakal terjadi di Indonesia. “Dari target 49 juta ton mungkin akan dihasilkan 47 juta ton,” ujar dia.
Penyebab kedua, kata Oke, khusus untuk Indonesia, kebanyakan entitas produsen minyak goreng dan CPO berbeda. Artinya produsen minyak goreng tergantung pada harga CPO. Karena itu, ketika harga minyak sawit mentah melonjak, harga minyak goreng curah dan kemasan sederhana ikut meningkat tajam.
Harga minyak goreng itu jauh melampaui harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah. Menurut Oke, HET itu disusun saat harga CPO di kisaran US$ 500-600 per metrik ton, sementara saat ini harga CPO berada di atas US$ 1.365 per metrik ton.
“Ini berpengaruh langsung karena 435 entitas produsen minyak goreng didominasi ketergantungan pada CPO, karena tidak semua terafiliasi dengan kebun sawit, sehingga itu yang menyebabkan kenaikan,” tutur Oke. (her)