Surabaya (www.pilar.id) – Lewat di jalanan kecil Banyu Urip, Surabaya, kita tinggal bertanya. Dimana Kampung Lontong? Mereka sontak menjawab, “Di sana”.
Dengan mudah kita akan menemukannya. Meski di tempat ini, setelah masuk kompleks perkampungan, semua tempat seolah sama. Jalan kecil, bangunan rumah yang berjajar rapat, dan anak-anak kecil yang bermain atau duduk menekuni ponsel.
Jika beruntung, di Kampung Lontong, kita akan bertemu orang-orang yang sibuk bekerja. Mencuci beras, memotong daun, lalu mulai menanak di dapur atau di depan rumah. Tak jauh dari tempat mereka bekerja, beberapa orang sabar menunggu untuk beli eceran atau kulak.
Hari itu, saat awak www.pilar.id mampir ke Kampung Lontong, Darmi, 62 tahun, sibuk menyelesaikan tugasnya. Ia pun bercerita, sudah menekuni usaha kecil menengah (UKM) ini selama 20 tahun. Alasannya mungkin klise, “Demi menyambung hidup bersama empat anak”. Yang cukup mengejutkan, dari pekerjaan ini ia berhasil menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang perguruan tinggi.
Semua bermula dari tahun 1980-an, saat seorang warga bernama Ramiah mengeluh jika hidup semakin berat. Bikin usaha apa saja hasilnya tak istimewa. Pesaing usaha tempe yang ia lakoni makin berlimpah.
Tak mau menyerah, Ramiah pun banting stir lalu mulai membuat lontong. Tak disangka, usaha ini membuat dia kebanjiran orderan. Karena tidak mampu memenuhi permintaan pasar yang makin meningkat, ia pun bekerja dengan melibatkan sanak saudara dan para tetangga.
Sejak itu jumlah produksi lontong makin meningkat. Apalagi Surabaya kaya khasanah kuliner dan beberapa di antaranya butuh suplai lontong. Seperti lontong balap, sate ayam, lontong mi, gule, dan masih banyak lagi.
Beberapa kali guncangan ekonomi, mulai dari krisis moneter 1990-an hingga pandemi Covid-19, Kampung Lontong nyatanya terus bertahan. Persoalan ekonomi mungkin tak berbanding lurus dengan selera makan. Sehingga dalam kondisi apapun, produksi lontong di sini, meski naik turun, relatif stabil.
Pengakuan Darmi, setiap hari mereka rata-rata mampu memproduksi 1200 lontong. Selanjutnya lontong tersebut di jual ke pasar dengan harga Rp 20 ribu per kantong. “Di sini, hampir 100 warga menjadi pengusaha lontong,” kata Darmi. (pat)