Surabaya (pilar.id) – Kasus pelecahan ataupun kekerasan seksual di Indonesia masih kerap terjadi, baik di lingkungan sekolah, rumah maupun tempat umum. Beberapa kasus diantaranya, sempat viral di berbagai sosial media.
Atas fenomena itulah, salah satu Lembaga Persma Mahasiswa (LPM) di Surabaya bernama Acta Surya mencoba menghadirkan ruang diskusi mengenai kasus pelecehan dan kekerasan seksual bertajuk ‘Diancam, Dibungkam, lalu Memilih Diam’ di Unicorn Creative Space, pada Jumat (7/1/2022) lalu.
Pada diskusi tersebut, mengundang Dosen Psikolog Universitas 17 Agustus 1945, Karolin Rista, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Titik Suharti, serta Andreas Wicaksono, Anggota Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Surabaya.
Dalam pembahasannya, Titik Suharti menyampaikan jika dari Menteri Pendidikan telah mengeluarkan peraturan mengenai pelecehan dan kekerasan pada perguruan tinggi
“Pak menteri telah membuat peraturan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Jika kampus tersebut tidak melaksanakan peraturan tersebut, maka status akreditasi kampus terancam turun dan hal itu sangat dihindari oleh sebuah perguruan tinggi manapun,” jelasnya.
Di sambung oleh Karolin Rista, jika setiap kampus harus memiliki Satuan Tugas (Satgas) dalam menangani mahasiswa yang mengalami kekerasan atau pelecehan seksual di perguruan tingginya.
“Adanya satgas tersebut diharapkan, tak ada lagi mahasiswa yang menjadi korban kekerasan atau pelecehan merasa tidak dilindungi oleh institusi perguruan tingginya, seperti kejadian di sebuah universitas beberapa waktu lalu,” jabar wanita berambut pendek ini.
Sedang pembahasan Andreas lebih menjurus pada sikap jurnalis saat ini yang seringkali menulis berita atau melakukan peliputan mengenai kekerasan atau pelecehan, secara tak etis dan menyudutkan korban.
“Saya mendapati judul-judul dan isi berita media mainstream saat ini, kalau mengangkat kasus pelecahan atau kekerasan seksual, seakan menyudutkan korban dan saat wawancara, jurnalis mempertanyakan kronologis kepada korban, sungguh tak punya perasaan,” ucapnya sedikit geram.
Andreas menyayangkan media saat ini, tidak memberikan ilmu dan keterampilan kepada reporter dan wartawannya dalam meliput hal sensitif. Padahal, menurut Andreas perusahaan media wajib membekali keterampilan para jurnalisnya.
“Tetapi terkadang dari redaksinya sendiri yang juga memainkan judul atau kata dalam naskah yang dibuat wartawannya, demi mendapat pembaca yang banyak,” ungkapnya.
Adanya Diskusi Publik ini, Frisila Ayu, Ketua Pelaksana, berharap agar isu kekerasan atau pelecehan kian digunjingkan dan dapat menjadi edukasi bagi masyarakat agar tak selalu menyalahkan korban atas kasus pelecehan atau kekerasan seksual
“Agar masyarakat tak selalu menyalahkan pakaian korban atas pelecehan atau kekerasan seksual yang dialami, serta menyadarkan masyakarat untuk jangan takut speak up dan masyarakat bisa saling melindungi,” harap Frisila. (jel)