Jakarta (pilar.id) – Ketimpangan pembangunan ekonomi, infrastruktur hingga sumbar daya manusia memang sudah sejak lama jadi masalah bagi pemerintah Indonesia. Terutama jika membandingkan pembangunan antara mereka yang ada di Pulau Jawa dengan pulau-pulau lainnya seperti Pulau Papua.
Demi memangkas terjadinya kesenjangan tersebut, Kementerian Dalam Negeri menerapkan pemberlakuan Otonomi Khusus (Otsus) di wilayah Papua termasuk bagi Provinsi Papua Barat Daya. Salah satu dari tiga Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua yang diresmikan pada 2022 lalu.
Penerapan Otsus di Papua Barat Daya diharapkan akan mampu jadi pendorong pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di wilayah tersebut. Dimana, ada tiga aspek pembangunan yang jadi tolok ukur di IPM yakni, pembangunan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
“Dibandingkan dengan tempat lain, (penerapan otsus di Papua) agar dia (Papua) bisa mengejar ketertinggalan pembangunan bidang kesehatan, begitu pula di perekonomian dan infrastruktur,” kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Suhajar Diantoro saat Rapat Kerja (Raker) Bupati/Wali Kota se-Provinsi Papua Barat Daya, Rabu (4/1/2023) yang berlangsung secara virtual.
Salah satu yang jadi perhatian Suhajar terkait pembangunan masyarakat di Papua adalah jumlah bayi yang meninggal saat melahirkan. Semakin banyak bayi yang meninggal saat dilahirkan, maka tingkat kesehatan di daerah tersebut akan semakin buruk.
“Kelihatannya indikator ini gampang, tetapi untuk bisa menyelamatkan bayi saat dilahirkan, Bapak/Ibu harus membenahi seluruh infrastruktur kesehatan,” terangnya.
Di sisi lain, Suhajar juga menegaskan perlunya peningkatan kondisi ekonomi masyarakat yang ada di Papua Barat Daya. Sebab, tingkat kesejahteraan masyarakat yang nantinya akan diukur dari hasil Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) juga akan berpengaruh pada besaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“Semuanya dihitung berapa barang dan jasa yang dihasilkannya, jumlahkan secara tetap itulah jumlah Produk Domestik Regional Bruto. (PDRB) dibagi dengan jumlah penduduk menjadi income per kapita PDRB. Baru kita tahu berapa PDRB kita dan berapa ketimpangannya. Gini rasionya dihitung di situ,” jelasnya.
Dia menambahkan, apabila 40 persen rakyat mendapat PDRB di bawah 15 persen maka akan terjadi ketimpangan atau jumlah rakyat miskin terlalu banyak. Suhajar menegaskan otsus di Papua Barat Daya diprioritaskan untuk pembangunan IPM tersebut. (fat)