Surabaya (pilar.id) – Pemerintah diminta untuk berterus terang pada rakyatnya, bahwa harga minyak mentah dunia yang meroket sejak awal Maret 2022 sudah memiliki rentang harga yang cukup jauh.
“Tak baik menahan harga BBM jenis Pertalite di harga Rp 7.650 per liter bahkan Pertamax RON 92 di harga Rp 9.000 per liter. Lama-lama cashflow-nya BUMN penyedia BBM bernama Pertamina ini juga jebol,” celetuk Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute saat Ngobrol Pintar Energi (Ngoper) kolaborasi Pertamina Patra Niaga dengan Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Surabaya pada Jumat (25/3/2022).
Gap perbedaan harga ini siapa yang menanggung? Komaidi meminta pemerintah memikirkan ide tanggung renteng yakni sebagian ditanggungkan pada konsumen dalam hal ini masyarakat.
“Misalnya harga Pertalite dinaikkan jadi Rp 9.000 per liter karena harga sebenarnya sudah Rp 12 ribu hingga Rp 13 ribu per liternya. Memang ada tekanan untuk pemerintah dalam agenda Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tetapi jika dibiarkan membengkak maka fiskal Pertamina yang tidak kuat. Akibatnya pemerintah di tengah tahun merevisi harga yang membuat rakyat kaget karena kenaikkan pasti cukup besar, karena bebannya sudah tak bisa ditanggung,” terang Komaidi.
Komaidi mengkhawatirkan saat pemerintah tak mampu lagi menahan gap harga ini, maka sejarahnya minyak goreng akan terjadi di BBM.
“Kasus di minyak goreng pemerintah tak bisa lagi menahan harga dan akhirnya menyerahkan pada mekanisme pasar bebas. Jadilah minyak goreng berharga selangit saat ini,” paparnya.
Langkah yang harus dilakukan pemerintah adalah mengkomunikasikan pada masyarakat bahwa beban harga ini sudah semakin berat. Memang kebijakan ini tidak disukai oleh rakyat tetapi pemerintah harus berani, daripada Pertamina tidak bisa beli BBM lagi sehingga kelangkaan terjadi.
Sebab setiap kenaikan harga minyak mentah US$ 1 saja maka kompensasi yang harus dikeluarkan pemerintah ke Pertamina sebanyak Rp 23 triliun sebab konsumsi Pertalite sebanyak 23 juta Kilo Liter (KL).
“Ini kompensasi alias akan dibayarkan pemerintah pada Pertamina saat ada duitnya, kalau tidak ada ya pakai Yen. Yen ono duit te,” jelasnya sambil berkelakar.
Pemerintah tak lagi menggunakan “subsidi” untuk BBM dengan RON 90 keatas yakni Pertalite (RON 90), Pertamax (RON 92) dan Pertamax Turbo (RON 95). Namun Kepres 117 tahun 2021 menyebutkan Menteri terkait berperan dalam menentukan harga.
“Nah disinilah pemerintah bisa menahan harga, agar daya beli masyarakat bisa naik lagi. Tetapi sayang ada BUMN yang terkuras uangnya, jika mereka tak mampu membeli minyak lagi apakah Shell dan BP-AKR bisa memenuhi kebutuhan masyarakat karena stok mereka juga terbatas,” lanjutnya.
Beban gap harga akan semakin membebani saat pemerintah mulai membolehkan mudik dan kemungkinan tahun baru pun akan dirayakan seperti biasanya.
“Saya sebagai rakyat saja tidak suka kebijakan seperti ini tetapi jika menaikkan separuh dari gap itunsaja cukup bisa dijangkau masyarakatm yakni Pertalite Rp 9.000 per liter. Daripada langsung naik 100 persen, membuat shock masyarakat. Posisi BBM kita saat ini ada di posisi Force Majeure” akunya.
Lalu bagaimana dengan momok inflasi yang akan terjadi. Menurut Komaidi, BBM bukan menjadi faktor utama sebab kebutuhan BBM tertinggi itu ada di industri dan distrubusi barangnya yang semuanya menggunakan solar non subsidi.
Febrian Satriya Hidayat, Ketua DEM Surabaya juga menyampaikan kegalauannya terkait masih amankan energi dalam negeri. Dan saatnya anak muda menghemat energi agar tidak mengalami ancaman krisis energi seperti yang mulai dirasakan Jerman, Belanda bahkan Inggris saat Rusia mengancam akan memutud suplai gas mereka ke Eropa.
“Sebagai mahasiswa tentunya kita harus banyak membaca dan menganalisis hingga akhirnya melakukan aksi nyata untuk masyarakat,” tandasnya. (ptr/hdl)