Surabaya (pilar.id) – Melihat perdagangan karbon di Indonesia, Gideon Candra Agape, mahasiswa Universitas Pembangunan Negeri (UPN) Veteran Jawa Timur membuat sebuah esai dan mengikuti kompetisi Writing Competition yang digelar oleh Djarum Foundation secara nasional
Ia menjelaskan, jika dalam kompetisi tersebut dirinya membuat sebuah esai Non Eksakta, mengenai inovasinya, berupa aplikasi carbon trading, yang mampu menghantarkan dirinya menjadi juara Regional Surabaya mengalahkan 65 peserta lain.
Lalu meraih juara 2 Nasional dalam kompetisi final di Ubud Bali, pada Jumat (23/9/2022) dengan mengalahkan 10 peserta lainnya baik dalam kategori esai Esakta dan Non Esakta
“Lomba itu bisa diikuti oleh para mahasiswa penerima beasiswa Djarum atau Beswan, jadi pertandingan eksklusif. Regional Surabaya melingkupi daerah Timur Indonesia juga, seperti Sulawesi, Papua dan Nusa Tenggara Timur dan Barat,” sebut mahasiswa Hubungan Internasional tersebut.
Mengenai idenya tersebut, ia menyampaikan jika tema tersebut terinspirasi dari peraturan pemerintah mengenai pajak carbon yang akan diimplementasikan.
Dirinya menjabarkan, jika pajak karbon merupakan, pajak atas emisi atau gas dari hasil pembakaran bahan bakar fosil yang dikeluarkan, sebuah perusahaan.
“Maka yang menjadi terpikirnya membuat aplikasi trading karbon ini, yaitu ingin memudahkan saja dalam mengawal para indsutri di Indonesia untuk taat membayar pajak carbonnya ke pemerintah,” ujarnya.
Dalam membuat esai tersebut, Gigi nama panggilannya ini, menceritakan jika terdapat beberapa kendala, seperti harus menyederhanakan kembali peraturan pajak carbon yang kompleks dan menyesuaikan iklim ekonomi di Indonesia, karena selama ini Indonesia masih memakai standard pajak carbon Internasional.
“Tantangannya, bagaimana kita membuat skema sendiri sesuai dengan iklim ekonomi di Indonesia, tetapi tidak mengurangi standard skema internasional. Maka penyederhanaannya, dengan membuat aplikasi karbon trading berbasis market place, yang dijual adalah sertfikat pengurangan emisi,” rincinya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan cara mendapatkan sertfikat pengurangan emisi tersebut, yaitu masyarakat desa yang memiliki lahan luas dapat menanam pohon yang dapat menyerap emisi tinggi, seperti pohon Trembesi.
Lalu dirawat sampai 40 tahun dan berjalannya 40 tahun, warga desa akan mendapat sertfikat pengurangan emisi dari pohon-pohon yang ditanam.
“Sertifikat itulah yang dijual di market place kami dan bisa ditukarkan uang. Jadi adanya inovasi ini, kami ingin perdagangan karbon bisa dimanfaatkan desa atau masyarakat sekitar. Bukan hanya segelintir orang yang mempunyai lahan luas,” terangnya.
Meski begitu, Gigi mengatakan ada yang lebih sulit, setelah aplikasi ini ada, yaitu harus adanya pertanggung jawaban kepada para Lembaga Hukum, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementrian Lingkungan Hidup dan Perhutanan sebagai pemimpin dari perdagagan karbon ini.
“Untuk sekarang, saya akan mengajak desa-desa untuk menanam pohon Trembesi. Terlepas daya emisinya bisa dijual atau tidak itu urusan nanti, yang penting kita bisa mengurangi beban pemerintah dalam mengurangi laju emisi,” ucap mahasiswa angkatan 2019 ini.
Maka dari itu, adanya inovasi Gigi mengatakan, jika Djarum Foundation siap bekerja sama dalam mewujudkan inovasi. Hal itu dikarenakan, pihak Djarum sejak tahun 2010 telah menanam sebanyak 130 ribu lebih pohon Trembesi di daerah pantai utara, seperti di sepanjang jalan tol dari Jawa Barat ke Jawa Timur.
“Yang dilakukan Djarum belum sampai ke perdagangan karbon. Maka dari itu, respon mereka baik, karena kita mempunyai kesamaan visi dan misi aplikasi trading dan misi Djarum dalam penghijaun di pulau Jawa. Jadi kita akan bekerjasama, tetapi aplikasi karbon trading, akan fokus pada pengawalan, penjualan perdagangan karbon,” jelas pria asal Tulungagung ini.
Kedepan adanaya inovasi aplikasi carbon trading ini, Gigi akan terus mengembangkan lebih lanjut dan masih menunggu regulasi yang ditetapkan, karena aplikasi ini berlandaskan pada Perpres No. 98 tahun 2021 dan Implementasi Pajak Karbon yang regulasinya masih sebatas uji coba.
“Sebenarnya aplikasi saya sudah pakai standard internasional, tetapi kita masih menunggu lagi, belum ada aturan terpusat seperti apa. Jadi dua aturan teknis tersebut, masih ditahap awal. Meski begitu, setidaknya kita sudah punya rencana dalam mengurangi emisi dan cara memanfaatkannya,” tutupnya. (jel/hdl)