Pontianak (Pilar.id) – Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan ESDM Kalimantan Barat, Syarif Kamaruzaman mengatakan pihaknya memberi sejumlah masukan terkait dengan perubahan UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.
Antara lain terkait kelembagaan. Menurut Kamaruzaman terlalu banyak tumpang tindih antar lembaga perlindungan konsumen. Ada empat lembaga penyelesaian sengketa konsumen. Ada di Kota Pontianak, Sintang, Ketapang dan Singkawang.
“Inilah yang kami sampaikan terkait dengan kelembagaan koordinasi di tingkat provinsi maupun kabupaten kota,” jelas Kamaruzaman usai berdiskusi dengan Tim Ahli dari DPR RI Rabu (25/1) siang.
Masukan lainnya soal sengketa digital. Menurutnya di era ekonomi digital perlu adanya perlindungan bagi konsumen. Dilihat dari masa pandemi yang menuntut masyarakat melakukan transaksional yang bersifat digital.
Menurutnya ada kekhawatiran penipuan-penipuan bersifat digital yang berdampak kepada konsumen.
“Pembelian online ini kan kadang-kadang banyak yang bersifat penipuan sehingga merugikan konsumen. Sanksi itu mesti tegas, sehingga kami berharap karena sudah ada era digital maka mesti ada penyelesaian bersifat digital,” terang Kamaruzaman.
Oleh karena itu, ia mengusulkan persoalan sengketa digital masuk dalam Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen.
“Ini yang harus segera dimasukkan dalam rancangan undang-undang dan yang didiskusikan tadi sehingga bisa menyelesaikan persoalan yang bersifat finansial teknologi seperti pinjaman online,” kata Kamaruzaman.
Sementara itu Kalbar dipilih sebagai provinsi pertama yang memberikan masukan kepada tim ahli terkait dengan revisi UU nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kalbar dipilih karena skor indeks kepercayaan konsumen dengan skornya 48,82. Skor itu menggambarkan Kalbar sebagai provinsi yang peduli konsumen dari Kementerian Perdagangan.
“Angka itu menunjukkan bahwa Kalbar konsumennya tingkat mampu. Kami terus melakukan pembinaan melalui tim penyidik pegawai negeri sipil perlindungan konsumen kepada seluruh pedagang-pedagang terkait dengan SNI, produk yang kadaluarsa termasuk edukasi edukasi dalam rangka perlindungan konsumen,” pungkas Kamaruzaman. (din)