Jakarta (pilar.id) – Bank Dunia atau World Bank melaporkan harga beras Indonesia lebih mahal dibanding di negara-negara ASEAN lainnya. Lembaga tersebut bahkan menyebut, harga beras Indonesia dua kali lipat lebih tinggi dibanding Vietnam, Kamboja, dan Myanmar.
“(Harga beras di Indonesia) 28 persen lebih tinggi dari harga beras di Filipina,” demikian sebut Bank Dunia.
Menanggapi hal itu, Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengatakan, harga beras di Indonesia adalah nomor dua yang paling rendah di ASEAN. Ia malah menuding, laporan Bank Dunia yang menyebutkan harga beras Indonesia termahal di Asia adalah salah.
“Menurut para pakar yang ada, (laporan Bank Dunia) tidak betul itu,” kata Syahrul.
Pengamat pertanian Universitas Lampun (Unila) Tri Maryono mengatakan, harga beras di Indonesia memang lebih mahal. Hal itu dipicu karena biaya produksi yang lebih tinggi dibanding negara lain.
“Di negara lain sudah lebih efisien dengan memanfaatkan teknologi, sehingga lebih sedikit tenaga (manusia) yang dibutuhkan. Sedangkan kita masih menggunakan manusia,” kata Maryono.
Di sisi lain, input pertanian di Indonesia juga menjadi faktor mahalnya harga beras di Indonesia. Selain pupuk, harga bibit juga mahal.
“Ini kan pupuk sulit didapat, petani mau tanam sehingga gunakan pupuk yang non-subsidi. Kalau pun subsidi juga mahal,” kata dia.
Persoalan lainnya, rantai distribusi pangan di Indonesia dinilai terlalu panjang. Hal ini menyebabkan. keuntungan yang didapat oleh petani juga lebih sedikit dibanding para pedagang.
Sekretaris Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Unila ini menambahkan, bisa saja harga beras di Indonesia menjadi lebih murah. Namun, hal itu perlu kerja keras. Meskipun Indonesia sudah memiliki Badan Pangan, nyatanya belum optimal.
“Seperti Bulog (Badan Urusan Logistik) saja belum optimal,” kata Maryono.
Maryono mendorong, mekanisasi diterapkan di sektor pertanian. Selain itu, petani bisa mengakses pupuk dengan mudah dan murah. Kemudian, dari sisi tata niaga juga perlu diperbaiki untuk meningkatkan efisiensi.
Menurut Maryono, pertanian yang tidak bisa efisien hasilnya akan lebih mahal. Pada akhirnya, produk Indonesia akan kalah bersaing di pasar luar.
“Sehingga pasar luar justru seneng masuk ke Indonesia,” kata Maryono. (ach/fat)