Flores Timur (pilar.id) – Desa Wulublolong di Pulau Solor, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi contoh sukses dalam memberdayakan kelompok perempuan secara ekonomi.
Mama-mama (sebutan untuk ibu-ibu di Flores Timur) di desa ini telah berhasil mencapai kemandirian ekonomi dengan tidak hanya mengandalkan hasil pertanian yang tidak stabil, tetapi juga menghasilkan anyaman daun lontar berkualitas tinggi yang memiliki nilai jual lebih tinggi dari anyaman biasa.
Keberhasilan pemberdayaan di desa ini telah menjadi sorotan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, dalam setiap kunjungan kerjanya. Menurutnya, pemberdayaan perempuan di desa merupakan salah satu kunci dalam mencegah perdagangan orang.
“Nusa Tenggara Timur adalah salah satu provinsi yang banyak menyuplai tenaga kerja migran non-prosedural. Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan para pekerja migran ini karena kondisi ekonomi keluarga mereka,” ujar Menteri PPPA saat mengadakan diskusi dengan kelompok perempuan penganyam di Desa Wulublolong.
Dari mama-mama di Desa Wulublolong, kata Bintang, kita melihat contoh baik upaya pemberdayaan kelompok perempuan di desa agar mereka bisa mandiri secara ekonomi.
“Mama-mama ini luar biasa tangguh, keteguhan mereka untuk berkontribusi di negeri sendiri patut kita apresiasi,” pujinya.
Di tengah rayuan calo tenaga kerja untuk bekerja di luar provinsi atau luar negeri dengan gaji besar, mereka tetap tegar.
Kami berharap, koordinator penganyam di desa ini dapat mengajak mama-mama lain untuk bergabung. “Jika perempuan saling mendukung satu sama lain, ini akan menjadi kekuatan ekonomi luar biasa karena perempuan merupakan separuh dari total penduduk Indonesia,” tambahnya.
Dalam kesempatan itu, Menteri PPPA memberikan apresiasi kepada Du Anyam, sebuah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berperan dalam pemberdayaan perempuan dengan meningkatkan kesejahteraan melalui kerajinan tangan di Indonesia. Du Anyam mulai melakukan intervensi di Flores Timur pada tahun 2015.
“Saya memberikan apresiasi yang tinggi kepada Du Anyam yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi dalam membantu meningkatkan kesejahteraan para perempuan di Flores Timur,” ungkap Menteri PPPA.
Mereka dengan tekun melatih kelompok perempuan untuk menghasilkan anyaman berkualitas dan membantu mencari pasar agar produk anyaman tersebut dapat dijual dengan harga yang pantas.
Kelahiran Du Anyam berawal dari masalah sosial-ekonomi yang tinggi di Flores Timur dengan tujuan membantu perempuan agar mandiri secara finansial dan hidup sejahtera
Hanna Keraf, salah satu pendiri Du Anyam, mengungkapkan bahwa mereka ingin melihat perempuan di Nusa Tenggara Timur menjadi perempuan yang mandiri dan berdaya.
“Kegiatan menganyam ini adalah salah satu cara untuk mengembangkan keahlian mereka dengan memanfaatkan sumber daya alam di sekitar mereka,” ujar Hanna.
Menganyam, lanjut dia, bukan lagi sekadar mengisi waktu luang, tetapi juga menjadi pekerjaan utama yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.
Ada yang menganyam sambil menunggu pasien di puskesmas atau menjemput anak sekolah. Ketekunan mama-mama penganyam di sini patut kita hargai.
Mama Hadjar, salah satu warga desa Wulublolong, memilih untuk mengoptimalkan potensinya di desa.
“Saya mengikuti pelatihan Du Anyam pada tahun 2015. Sebagai perempuan, kita harus berdaya, mandiri, dan mengembangkan potensi diri kita di desa. Saya memilih tinggal di desa dan tidak ingin merantau karena di desa kami bisa berkarya dan mendapatkan penghasilan,” kata Hadjar.
Selain itu, Menteri PPPA juga melakukan dialog dengan pemimpin daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, perempuan penyintas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dan perwakilan perempuan penganyam. Menteri PPPA mendorong pemerintah desa untuk memperkuat gugus tugas pencegahan dan penanganan TPPO.
“Kami mendorong pemerintah daerah agar ada peraturan desa untuk pencegahan dan penanganan TPPO. Pencegahan harus dimulai dari masyarakat, dengan memberikan keterampilan agar mereka dapat memenuhi kebutuhan keluarga,” tegas Menteri PPPA.
Seluruh masyarakat desa, kata dia, harus mandiri secara ekonomi. Jika kelompok perempuan dapat mandiri, mereka dapat membantu mengatasi masalah stunting, mencegah kekerasan dalam rumah tangga, dan TPPO.
“Oleh karena itu, kami menciptakan model Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) sebagai salah satu upaya memberikan perhatian pada perempuan dan anak,” tegas Bintang.
Menteri PPPA berharap edukasi kepada masyarakat dapat diperkuat untuk mencegah terjadinya TPPO.
“Kita perlu mendidik mama-mama dan masyarakat bahwa kita semua harus memiliki keterampilan agar dapat berkarya di negara sendiri. Literasi dan sosialisasi mengenai pencegahan dan penanganan TPPO perlu diperluas sehingga tidak ada lagi korban TPPO di NTT,” tutup Menteri PPPA. (ret/hdl)