Jakarta (pilar.id)– Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menyampaikan keprihatinannya menanggapi pemberitaan terkait tiga kota di Indonesia dengan jumlah pelajar hamil di luar nikah terbanyak. Bahkan, salah satu di antaranya tercatat jumlahnya mencapai ribuan pelajar hamil di luar nikah.
Bintang mengungkapkan, meningkatnya jumlah pelajar hamil di luar nikah disebabkan karena banyak faktor, mulai dari faktor ekonomi, sosial, hingga pandemi covid-19 yang sampai saat ini masih berlangsung.
“Pemerintah tentunya tidak tinggal diam dengan fenomena perkawinan anak yang sampai saat ini masih terjadi. Kita perlu memperkuat komitmen pelaksanaan kebijakan pencegahan perkawinan anak yang tentu membutuhkan keterlibatan banyak pihak mulai dari peran kementerian/lembaga, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, mitra pembangunan lainnya termasuk anak itu sendiri untuk mendorong pemenuhan hak anak dan perlindungan anak,” ungkap Bintang, Kamis (17/2/2022).
Bintang mengungkapkan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bersama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinas PPA) setempat dan stakeholder akan mengawal kasus perkawinan anak yang terjadi ini.
Sekaligus, melakukan serangkaian penanganan mulai dari memperkuat kembali proses mainstreaming di K/L dan pemerintah daerah melalui regulasi Perpres Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kabupaten Layak Anak (KLA) dan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan anak serta Desa/Kelurahan Ramah Perempuan dan Peduli Anak.
Selain itu, lanjutnya, KPPPA juga akan melakukan optimalisasi pengintegrasian dalam Satuan Pendidikan Ramah Anak dan melibatkan Fasilitator Nasional serta akreditasi dan bantuan operasional. Dia juga mendorong diterbitkannya Fatwa Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) terkait anak yang hamil yang tidak diinginkan/hamil diluar perkawinan untuk tidak dinikahkan.
“Hal ini juga sejalan dengan proses permohonan dispensasi kawin yang tidak serta merta anak yang hamil akan dikabulkan oleh Pengadilan Agama untuk dapat menikah. Tentunya peran media juga sangat penting dalam pemberitaan dengan sumber data yang jelas dan akuntabel.” terangnya.
Sejalan dengan hal tersebut, KPPPA telah diberikan amanat untuk menjalankan lima arahan prioritas oleh Presiden Joko Widodo, salah satunya mencegah perkawinan anak. KPPPA juga telah menjalankan program-program prioritas yang sejalan dengan arahan Presiden yang tercantum dalam Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dengan tujuan meningkatkan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing yang di antaranya memiliki target mengurangi perkawinan anak dari 10,44 persen di tahun 2021 menjadi 8,74 persen di tahun 2024.
Komitmen ini diikuti dengan diterbitkannya Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) 2020 yang dicanangkan Pemerintah pada Februari 2020 yang bertujuan untuk mengurangi perkawinan anak dari 10,44 persen tahun 2021 menjadi 6,9 persen pada tahun 2030 untuk perempuan usia 20-24 yang menikah sebelum usia 18 tahun.
Di sisi lain, Bintang mengaku telah banyak upaya dilakukan pemerintah dalam menghentikan praktik perkawinan anak, salah satunya adalah lahirnya kebijakan perundang-undangan yang sangat progresif yakni Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada tanggal 16 Oktober 2019.
Selain itu, Mahkamah Agung secara progresif juga telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Perma tersebut saat ini menjadi aturan dasar bagi para hakim yang mengadili perkara dispensasi kawin.
“Dalam implementasinya, pemerintah daerah dalam hal ini Dinas PPPA sebagai pengampu yang membidangi urusan Perempuan dan Anak, banyak diminta oleh Pengadilan Agama untuk memberikan rekomendasi bagi pemohon dispensasi kawin,” pungkas Bintang. (her/fat)