Jakarta (pilar.id) – Rancangan Undang Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Dalam RUU yang memiliki 339 pasal tersebut, terdapat berbagai isu strategis sektor keuangan.
Salah satunya terkait independensi lembaga otoritas keuangan, seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang merupakan faktor penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia dalam menghadapi resesi global di tahun 2023. Pemerintah telah menjamin bahwa UU ini nantinya tidak akan menurunkan independensi lembaga otoritas keuangan.
Namun, dalam draft RUU P2SK masih terdapat beberapa pasal yang dinilai dapat mengancam independensi lembaga otoritas keuangan dan menimbulkan masalah ke depannya. Pertama, RUU P2SK berencana menghapus larangan Anggota Dewan Gubernur BI untuk menjadi pengurus partai politik. Kedua, penambahan mandat BI untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan yang berpotensi menyulitkan BI dalam menjaga inflasi dan stabilitas nilai tukar, mengingat pertumbuhan ekonomi seringkali diikuti dengan kenaikan inflasi.
Ketiga, pasal 11 RUU P2SK menyebutkan Anggota Dewan Komisioner (ADK) OJK diseleksi dan dipilih oleh DPR melalui panitia seleksi (pansel) yang juga dipilih oleh DPR. Mekanisme ini dinilai tidak ideal, karena tak ada prinsip check & balances antara eksekutif dan legislatif.
Menanggapi hal itu, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, otoritas lembaga keuangan harus independen. Menurutnya independensi otoritas lembaga keuangan harus dijaga dengan tidak merekrut baik pengurus maupun seseorang yang memiliki keterkaitan dengan partai politik karena dikhawatirkan dapat mempengaruhi kebijakan.
“Misalnya saja bisa terjadi inside trader, orang menaikkan suku bunga atau menaikkan suku bunga ketika dia menjadi anggota dewan gubernur akan sangat mempengaruhi pelaku pasar, termasuk saat dia memiliki bank sendiri. Itu bisa jadi suatu hal yang merugikan,” jelas Tauhid.
Menurut Tauhid, keputusan akan lebih sulit diambil apabila ada kepentingan politik. Hal ini juga berpotensi menjadi area rent seeking sehingga keputusan yang diambil tidak akan berdasar pada objektivitas, tetapi hanya menguntungkan beberapa pihak. Oleh karena itu, ia berharap ketentuan itu dimasukkan lagi ke dalam UU P2SK.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah berpendapat bahwa sangat penting untuk menjaga independensi lembaga otoritas keuangan. Ia menjelaskan aturan mengenai persyaratan Anggota Dewan Gubernur BI sudah pernah tertera dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Namun, ketentuan tersebut dihapus dalam UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 yang menegaskan independensi BI sebagai Bank Sentral yang bebas dari campur tangan Pemerintah atau pihak lain dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
“Menegaskannya tidak dicantumkan lagi, ya. Tapi itu kan sudah berjalan dari 2004, memang juga tidak dicantumkan,” kata dia.
Terkait mekanisme seleksi ADK OJK oleh DPR melalui panitia seleksi (pansel), Piter mengaku tak sependapat. Proses tersebut dinilai terlalu panjang, sehingga hanya akan menghabiskan energi dan tenaga. “Itu saya nggak sependapat. Seharusnya OJK itu sama dengan BI. Tidak perlu pakai pansel. BI nggak pakai pansel. Untuk Ketua dan Wakil Ketua Komisioner OJK cukup presiden yang mengajukan nama ke DPR,” kata Piter.
Sebelumnya, peneliti senior Departemen Ekonomi CSIS Deni Friawan mengatakan, pasal-pasal yang bermasalah itu bukannya mendorong penguatan lembaga dan sektor keuangan, tetapi justru berpotensi melemahkan dan merusak stabilitas sistem keuangan yang telah terbentuk selama ini dengan baik. Ia menyoroti beberapa isu penting terkait adanya pengecualian anggota partai politik menjadi anggota dewan pimpinan, mekanisme pembentukan pansel, prosedur pemilihan dewan pimpinan, dan keberadaan dewan pengawas atau supervisi setiap lembaga otoritas keuangan tersebut.
“Bukannya mendorong penguatan lembaga dan sektor keuangan, tapi RUU P2SK justru malah berpotensi melemahkan dan merusak stabilitas sistem keuangan,” katanya.
Menurut Deni, apabila pasal-pasal ini tetap disahkan nantinya akan mengurangi independensi Bank Sentral dalam menjalankan mandat utama, yakni menjaga inflasi dan stabilitas nilai tukar, serta menjadikan indikator makro ekonomi sebagai pijakan utama. Selain itu, penambahan tugas BI untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan juga dinilai akan kontra produktif.
“Hal ini merupakan sebuah kemunduran yang luar biasa. Lembaga otoritas keuangan tersebut akan rentan diintervensi oleh partai politik, parlemen dan pemerintah,” kata Deni.
Oleh karena itu, penyelesaian pembahasan RUU P2SK diharapkan tidak terlalu terburu-buru, mengingat pembahasan perubahan peraturan turunan UU ini (peraturan pemerintah, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan OJK, dll) bisa memakan waktu setidaknya 1 tahun. Pemerintah diminta memaksimalkan koordinasi dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) agar lebih efektif dalam menghadapi potensi resesi global 2023. (ach/hdl)