Jakarta (pilar.id) – Penanganan sampah plastik di Indonesia saat ini masih belum maksimal atau salah sasaran. Persoalan sampah plasti yang masih berliku penyelesaiannya karena sejumlah kepentingan belum dapat disatukan.
Di satu pihak ada entitas bisnis besar yang ingin terus berusaha dengan tenang, di pihak lain ada pemerintah yang mengeluarkan regulasi dan memiliki kewajiban melindungi konsumen serta menjaga lingkungan dari polutan plastik.
Ada pula masyarakat selaku konsumen yang selayaknya bisa berperan sebagai bagian dari solusi timbulan sampah plastik, dan bukan sebaliknya sebagai bagian dari masalah.
“Reputasi Indonesia sebagai negara produsen sampah plastik telah mendunia, karenanya persoalan sampah plastik ini harusnya menjadi masalah kolektif yang harus dicarikan solusinya bersama,” kata kata pakar sumber daya air dan pendiri Indonesian Water Institute (WI), Firdaus Ali dalam keterangan persnya, Sabtu (16/7/2022).
Ribut-ribut penggunaan galon plastik berbahan kimia berbahaya dan galon sekali pakai yang mencuat belakangan ini, jadinya malah mengaburkan persoalan yang lebih besar, yaitu bagaimana mengatasi timbulan sampah plastik yang akhirnya jadi polutan di daratan dan lautan di Indonesia. Di laut, sampah plastik terbukti menjadi ancaman besar pada ekosistem laut, kesehatan publik, bisnis perikanan dan tentu saja sektor turisme.
“Plastik bukanlah musuh kita. Kalau ada kampanye mengatakan ‘Say No to Plastic’, itu adalah kampanye yang salah. Persoalannya baru timbul apabila plastik dibuang ke lingkungan dan berakhir di badan air, inilah yang menjadi musuh bersama. Jadi yang salah adalah tindakan-tindakan primitif kita, sehingga plastik jadi persoalan lingkungan,” ujarnya.
Data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah per tahun, di mana sebanyak 5 persen, atau 3,2 juta ton, adalah sampah plastik. Dari angka fantastis 3,2 juta ton timbulan sampah plastik itu, produk air minum dalam kemasan (AMDK) bermerek menyumbang 226 ribu ton atau 7,06 persen.
Sebanyak 46 ribu ton atau 20,3 persen dari total timbulan sampah produk AMDK bermerek adalah sampah AMDK gelas plastik. Secara kasat mata, selain volume timbulan sampah, air minum dalam kemasan plastik berukuran di bawah 1 liter terbukti sangat sulit untuk dikumpulkan, terlihat berceceran di mana-mana dan mengotori lingkungan.
Timbulan sampah gelas plastik ukuran mini ini sangat berpotensi menjadi polutan. Karenanya, produsen didorong untuk memproduksi botol plastik yang lebih besar (size up).
Kemasan yang kecil-kecil, khususnya yang dirancang sekali pakai dan tidak bisa diguna ulang, potensi jadi sampah atau polutannya sangat tinggi dibanding kemasan berukuran besar. Apalagi jenis plastiknya tidak bisa didaur ulang, maka sudah pasti jadi sampah karena tidak laku.
“Makanya kita dorong ukurannya diperbesar dalam konteks pengumpulan kembali (produk guna ulang). Dalam konteks industri daur ulang, ukuran itu menjadi penting,” kata kata Kepala Subdirektorat Tata Laksana Produsen Direktorat Pengurangan Sampah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ujang Solihin Sidik.
Sampah air minum dalam kemasan gelas plastik, termasuk penutup, sedotan, dan pembungkus sedotannya, terbukti menimbulkan persoalan besar bagi lingkungan, sebab tidak ada nilainya untuk didaur ulang.
Ekonomi sirkular, seperti disinggung Ujang Solihin Sidik, dapat berkembang baik di Indonesia apabila sampah plastik bisa didaur ulang. Sayangnya, hal ini belum bisa dicapai karena timbulan sampah plastik yang ada belum cukup memadai, sehingga Indonesia justru mengimpor bahan baku sampah plastik untuk kebutuhan daur ulang.
Pemerintah melalui KLHK sebenarnya sudah memiliki strategi untuk mengurangi sampah plastik industri melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah, di mana semua produsen didorong untuk menyusun road map pengurangan sampah dengan target pengurangan 30 persen timbulan sampah per Desember 2029.
Peraturan ini juga mendorong industri untuk stop produksi (phase-out) air minum kemasan ukuran di bawah 1 liter dan juga kemasan saset di bawah 50 mililiter. Respons pihak industri masih belum memadai, karena sejauh ini baru terbatas ada 33 perusahaan yang sudah mengirimkan dokumen komitmen pengurangan sampah plastik hingga 2029.
“Kurangnya respons pengusaha ini ditengarai karena produk kemasan mini masih jadi primadona yang laris di pasar, meskipun berperan besar merusak lingkungan,” tutupnya. (her/hdl)