Jakarta (pilar.id) – Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menyindir PT Pertamina (Persero) yang lambat mendistribusikan bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite. Akibatnya, terjadi penumpukan kendaraan di sejumlah Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU) untuk mengantri isi bensin.
Menurut Mulyanto, masyarakat sudah terkesan sinis terhadap alasan tersebut. Masyarakat lebih menduga penyebabnya karena Pertamina tidak ingin menanggung kerugian dengan menjual BBM bersubsidi lebih dari kuota yang ada, sebagai efek dari menipisnya kuota BBM bersubsidi.
“Modusnya serupa dengan kasus premium saat menjelang dihapuskan. Barangnya tidak ada di pasaran, meski dikatakan Pemerintah, bahwa BBM jenis Premium tersebut tidak dihapus,” kata Mulyanto, di Jakarta, Jumat (19/8/2022).
Politikus PKS ini meminta pemerintah meningkatkan pengawasan BBM bersubsidi dan menindak tegas para pelaku penyimpangan. Jangan sampai dana subsidi yang terbatas justru dinikmati oleh mereka yang tidak berhak, atau terjadi kebocoran kuota BBM.
“Kasihan, masyarakat miskin yang berhak atas subsidi BBM harus gigit jari, karena kuotanya dihabiskan oleh mereka yang tidak berhak,” katanya.
Menurut Mulyanto, realisasi kuota BBM bersubsidi yang lebih cepat dari rencana menyebabkan menipisnya sisa kuota. Berdasarkan kalkulasi BPH Migas, kuota solar sebesar 15 juta kilo liter dan pertalite 23.5 juta kilo liter di tahun 2022, diperkirakan pada bulan Oktober-November 2022 ini akan habis.
Sementara itu, Anggota Komisi DPR VII Rofik Hananto menanggapi kabar yang beredar pertalite bakal naik harganya menjadi Rp10 ribu. Menurutnya, pemerintah tak punya alasan untuk menaikkan harga BBM.
“Karena sudah ada bantalan yang disiapkan yaitu subsidi dan dana kompensasi yang sudah ditambah di tahun 2022 ini,” kata Rofik.
Rofik menambahkan, asumsi ICP di APBN 2022 juga sudah direvisi menjadi USD 100 per barel sebagai antisipasi atas kenaikan komoditi energi di pasar dunia. Apalagi, saat ini harga minyak mentah di pasar dunia sudah mulai turun, yaitu sekitar USD 90 per barel atau terjadi penurunan sebesar 30% selama dua bulan terakhir.
“Kesepakatan tambahan ini yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dan disetujui DPR,” kata dia.
Pemerintah sendiri di tahun 2023 masih akan tetap memberikan subsidi energi dan kompensasi BBM, listrik, dan LPG 3 kg yaitu sebesar Rp336,7 triliun. Anggaran tersebut terdiri dari subsidi sebesar Rp210,7 triliun dan dana kompensasi Rp126,0 triliun.
“Ini saya kira wajar untuk mengantisipasi fluktuasi harga energi yang akan meningkat di tahun 2023, seiring peningkatan permintaan energi karena pulihnya ekonomi dunia dari wabah pandemi,” kata Rofik. (ach/hdl)