Jakarta (pilar.id) – Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, mengungkapkan kekecewaannya terhadap absennya pejabat definitif sebagai Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), terutama dalam konteks persoalan tambang yang semakin rumit. Menurutnya, situasi ini mencerminkan kurangnya keseriusan Pemerintah dalam mengelola sektor vital negara.
Mulyanto menyoroti sentralisasi kewenangan pertambangan ke Pemerintah Pusat melalui revisi UU Minerba. Dirjen Minerba bahkan harus merangkap jabatan sebagai Pelaksana Tugas (PLT) Gubernur Bangka Belitung. Namun, segera setelah itu, terjadi kasus korupsi tunjangan kinerja di Direktorat Jenderal Minerba.
“Pemerintah terkesan enggan untuk menangani pembinaan dan pengawasan pertambangan, sementara di sisi lain sangat ingin mengkonsolidasikan kewenangan ke pusat. Ini seperti pepatah, nafsu besar, tenaga kurang,” ungkap Mulyanto dalam keterangannya kepada media, di Jakarta, Jumat (5/4/2024).
Mulyanto menyoroti bahwa Pemerintah hanya menempatkan pejabat selevel Pelaksana Harian (PLH) atau Pejabat Pelaksana Tugas (PLT) sementara, tanpa menetapkan pejabat definitif sebagai Dirjen Minerba. Ia meragukan bahwa pejabat sekelas PLT Dirjen mampu melawan mafia tambang yang memiliki jaringan dan dukungan yang kuat.
Satgas Terpadu Tambang Ilegal yang diumumkan Pemerintah hingga kini belum terbentuk, meskipun masa pemerintahan sudah mendekati akhir. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap keseriusan Pemerintah dalam mengatasi masalah pembinaan dan pengawasan sektor pertambangan.
Maka dari itu, Mulyanto mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk benar-benar mematuhi Konstitusi dan UU Minerba, sehingga sumber daya tambang dapat dikelola negara untuk kemakmuran rakyat secara menyeluruh, bukan hanya sekelompok kecil.
Selain itu, Mulyanto menekankan perlunya membangun tata kelola pertambangan yang baik, terutama dalam hal pembinaan dan pengawasan. Meskipun ia pesimis terhadap kemampuan Presiden Jokowi untuk menyelesaikan masalah pertambangan nasional dengan baik.
Menurutnya, terungkapnya kasus korupsi timah senilai Rp. 271 triliun hanyalah puncak dari berbagai masalah dalam tata kelola pertambangan nasional. Oleh karena itu, ia mendesak Pemerintahan yang akan datang untuk memprioritaskan masalah ini dalam 100 hari kerja pertama mereka.
“Pemerintah yang akan datang harus membuktikan bahwa mereka tidak akan kalah dengan mafia tambang dan para bekingnya,” tutup Mulyanto. (mad/hdl)